Dezember, 1990
Perjalanan sampai di penghujung tahun ’90 tidak mengalami tantangan yang begitu dasyat, hanya saja keraguan dan hidup penuh tanya, terus menghantui keseriusanku dalam bertapak. Aku terus berlangkah sampai tiba kembali waktu dalam mana aku pernah berdengung syair “Holly night” bersama ibuku. Dezember, 90 mengingatkan aku akan kisah natal yang pernah didongengkan oleh ayah di tahun 1984. Kali ini agak lain. Wajah Dezember berubah rupa. Satu hal yang masih tetap sama ialah bahwa kami tetap merayakan natal KEKASIH orang tuaku dalam kesederhanaan dan dibawa cahaya pelita yang berasap. Suasana tetap kidmat tetapi hati teriris tatkala ibu jatuh sakit yang cukup serius. Aku tak ingat lagi, penyakit apa yang dia deritai . Juga lupa bertanya bagaimana dia merasakan situasi saat itu. Dalam kelamnya waktu dan ditengah kesesakan hidup lantaran deritanya, aku beralih wajah dan beradu pandang dengan KEKASIH mereka.
Ku hidupi situasi itu dengan rasa penuh tanya, penuh keraguan, dan sekaligus pasrah, sambil menantikan apa yang bakal terjadi dengan bahtera. Aku tidak terlalu mengenal baik siapa sebenarnya KEKASIH mereka. Hanya mereka pernah menceritakan kalau Dia itu adalah Bapa yang baik, Putra yang berbelas kasih dan Roh yang yang menghidupkan. Ini memori awalku tentang Tuhan pemberi hidup!. Aku terus menghidupi gambaran Tuhan mereka seperti ini. Tetapi ketika kuhadapi situasi sulit seperti di akhir tahun ini, aku bertanya siapa Dia sebenarnya. Aku mulia bernalar, andaikan Dia adalah Tuhan yang baik, kenapa dia menyulitkan manusia?. Dalam keraguanku akan eksisnya Tuhan, kudengar, didoa ayahku, nama ibu yang lagi terbaring lemas disebut beberapa kali. Aku kagum dengan tingkah sang bapak di depan Tuhanya dan terpesona oleh iman akan Gurunya. Ku intip langkah ayah dalam kekelaman jiwa dan kusemati kebijaksanaanya dalam gersangnya hidup. Ia berpasrah dan terus percaya, sampai suatu ketika, saat orang tertidur pulas dan ketika bumi sedang bermimpi, sang ayah terjaga dari tidurnya. Kali ini, dia bangun bukan karena ibu merintih karena kegetiran fisik, bukan pula karena dia mau meratap dinginya alam, tetapi karena hasrat jiwa untuk mencari Tuhannya. Dengan lilin yang bernyala redup, didepan sebuah gambar wajah Bunda Penolong abadi, ayah mulai bersyair pasrah, menyerahkan derita sang ibu, sembari menanti rejeki yang datang dari uluruan tanga-Nya. Dalam kesederhanaan doannya, dia meletakan seluruh harapan kepada cinta sang Ilahi, menanti uluran kasih sang KEKASIH dan membiarakan ibu dijamah oleh tangan cinta. Mukjizat-pun terjadi. Uluran tangan Bapa menjamah jiwa yang merana, tetesan darah Putra membasahi nurani yang labil dan, hembusan Roh penghibur menyejukan hati yang tersayat. Aku tertegun menyasikan semuanya itu.. Peristiwa itu bukanlah mimpi di malam kelam, bukan juga angan yang dirakit oleh otak manusia, tetapi karya Bapa, perjuangan Putra dan Kasih Roh yang menghibur kami yang lagi merana. Aku kagum, sampai tak terasa malam terus berlaju.
Dari pengalaman rohani ini aku mau menyelami karya KEKASIH sang ayah. Hasratku ialah mengenal-Nya lebih dekat dan berbicara dengan-Nya dari hati ke hati. Aku masih terlalu muda dan sulit untuk bertutur dengan kata-kata di hadapan-Nya. Satu langkah yang saya ingat baik ialah duduk, diam dan mendengarkan sapaanya. Tak pernah terbayangkan kalau ketiga cara ini adalah juga doa. Aku terus merenungi peristiwa íman itu. Sebuah kesaksian cinta sang Bapa, Uluran tangan sang Putra dan Penghiburan Allah Roh Kudus terbukti dalam proses penyembuhan ibuku. Ini langkah awal perjuangan pertemuanku dengan sang KEKASIH hidup......(10)
Sem comentários:
Enviar um comentário