segunda-feira, 21 de junho de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (11)

- III –

Di persimpangan waktu, di perempatan jalan

Perjalanan selanjutnya sejak aku berkenalan dengan KEKASIH hidup mulai berubah. Bukan gerak langkah yang berubah, tidak juga tutur kata yang membingungkan, tetapi motivasi yang bercorak lain. Aku sungguh seperti Tom Hanks, pelakon filemnya Robert Zemeckis “Cast Away-O Naufrago” yang setelah melewati pelbagai tantangan pasca jatuhnya pesawat yang ditumpanginya, dia kembali menemui keluarga yang pernah ditinggalkannya dan berakhir pada posisinya yang berada di persimpangan waktu dan di perempatan jalan. Bingung mau pilih jalan mana yang harus di tapaki. Namun perjuangan Tom Hanks adalah gambaran seorang petualang yang bertualang sambil menebar harapan akan kembalinya hidup dan opsi pada hidup. Motivasi aventurenya adalah juga dasar pijak pilihannku. Dalam keadaan bingung dan ditengah situasi yang tak menentu aku harus memilih sambil berharap akan kembalinya hidup dan kembali menikmati hidup. Maksudku bukan untuk menunjukan bahwa aku lemas, kaku tak berdaya dihadapan pilihan itu, akan tetapi ketakutan yang menggerogoti naluri petualanganku turut mewarnai langkahku. Aku sungguh tak mampu menikmati indahnya pelangi hidup. Kala itu adalah akhir Juni, pertangahan tahun 1996, waktu dalam mana aku menyelesaikan jenjang pendidikan Senior High school, kesempatan, dimana sahabat-sahabat seangkatanku sudah dengan yakin memutuskan ke mana mereka harus pergi Sementara aku?, aku diam membisu sambil menanti waktu bertutur.

Enam tahun aku membekasi dusun terpencil Kuwu, tempat dimana dinding colegio Sint Klaus berdiri tegak, dan setelahnya aku harus memilih. Ada tawaran dan pilihan yang harus aku putuskan, namun semuanya tinggal tawaran tanpa jawaban dan pilihan yang membingungkan. Masalahnya bukan mereka yang menawarkan, tetapi aku yang harus memberikan jawaban. Ciri khas kepribadianku masih terbawa. Bingung berada diantara dua pilihan dan enggan untuk menanggung resiko sebuah pilihan. Namun aku tidak berdiam diri, akan tetapi, mengambil sikap pasif yang produktif. Maksudnya ialah tidak membiarkan waktu berlalu tanpa makna tetapi aku diam sambil membiarkan harapan berjalan mencari waktu dan menata roda bumi.

Aku bingung. Pikiran ayah terbagi, dan semangat sang ibu berada di antara dua derita yang tak terkisahkan. Atau aku dan masa depanku, atau sang ayah yang lama berpikir untuk menentukan perjalananku selanjutnya. Keduanya memikirkan masa depanku, cemas akan berhentinya langkah yang sudah ku mulai, dan kwatir akan caraku yang cendrung bersikap pasif. Aku bersama kedua orang tuaku terus berlangkah dalam keheningan yang untuk saya, kunjung tak bertepi. Sempat mengalami “simple stress” di persimpangan waktu dan di perempatan jalan, namun sekali lagi aku tidak membiarkan diri dikuasi oleh sentimen jenaka, karena naluri seorang petualang terus mengontrol langkahku...(11)

terça-feira, 1 de junho de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (10)

...Pertemuan dan berkenalan secara pribadi dengan KEKASIH hidup

Dezember, 1990
Perjalanan sampai di penghujung tahun ’90 tidak mengalami tantangan yang begitu dasyat, hanya saja keraguan dan hidup penuh tanya, terus menghantui keseriusanku dalam bertapak. Aku terus berlangkah sampai tiba kembali waktu dalam mana aku pernah berdengung syair “Holly night” bersama ibuku. Dezember, 90 mengingatkan aku akan kisah natal yang pernah didongengkan oleh ayah di tahun 1984. Kali ini agak lain. Wajah Dezember berubah rupa. Satu hal yang masih tetap sama ialah bahwa kami tetap merayakan natal KEKASIH orang tuaku dalam kesederhanaan dan dibawa cahaya pelita yang berasap. Suasana tetap kidmat tetapi hati teriris tatkala ibu jatuh sakit yang cukup serius. Aku tak ingat lagi, penyakit apa yang dia deritai . Juga lupa bertanya bagaimana dia merasakan situasi saat itu. Dalam kelamnya waktu dan ditengah kesesakan hidup lantaran deritanya, aku beralih wajah dan beradu pandang dengan KEKASIH mereka.

Ku hidupi situasi itu dengan rasa penuh tanya, penuh keraguan, dan sekaligus pasrah, sambil menantikan apa yang bakal terjadi dengan bahtera. Aku tidak terlalu mengenal baik siapa sebenarnya KEKASIH mereka. Hanya mereka pernah menceritakan kalau Dia itu adalah Bapa yang baik, Putra yang berbelas kasih dan Roh yang yang menghidupkan. Ini memori awalku tentang Tuhan pemberi hidup!. Aku terus menghidupi gambaran Tuhan mereka seperti ini. Tetapi ketika kuhadapi situasi sulit seperti di akhir tahun ini, aku bertanya siapa Dia sebenarnya. Aku mulia bernalar, andaikan Dia adalah Tuhan yang baik, kenapa dia menyulitkan manusia?. Dalam keraguanku akan eksisnya Tuhan, kudengar, didoa ayahku, nama ibu yang lagi terbaring lemas disebut beberapa kali. Aku kagum dengan tingkah sang bapak di depan Tuhanya dan terpesona oleh iman akan Gurunya. Ku intip langkah ayah dalam kekelaman jiwa dan kusemati kebijaksanaanya dalam gersangnya hidup. Ia berpasrah dan terus percaya, sampai suatu ketika, saat orang tertidur pulas dan ketika bumi sedang bermimpi, sang ayah terjaga dari tidurnya. Kali ini, dia bangun bukan karena ibu merintih karena kegetiran fisik, bukan pula karena dia mau meratap dinginya alam, tetapi karena hasrat jiwa untuk mencari Tuhannya. Dengan lilin yang bernyala redup, didepan sebuah gambar wajah Bunda Penolong abadi, ayah mulai bersyair pasrah, menyerahkan derita sang ibu, sembari menanti rejeki yang datang dari uluruan tanga-Nya. Dalam kesederhanaan doannya, dia meletakan seluruh harapan kepada cinta sang Ilahi, menanti uluran kasih sang KEKASIH dan membiarakan ibu dijamah oleh tangan cinta. Mukjizat-pun terjadi. Uluran tangan Bapa menjamah jiwa yang merana, tetesan darah Putra membasahi nurani yang labil dan, hembusan Roh penghibur menyejukan hati yang tersayat. Aku tertegun menyasikan semuanya itu.. Peristiwa itu bukanlah mimpi di malam kelam, bukan juga angan yang dirakit oleh otak manusia, tetapi karya Bapa, perjuangan Putra dan Kasih Roh yang menghibur kami yang lagi merana. Aku kagum, sampai tak terasa malam terus berlaju.

Dari pengalaman rohani ini aku mau menyelami karya KEKASIH sang ayah. Hasratku ialah mengenal-Nya lebih dekat dan berbicara dengan-Nya dari hati ke hati. Aku masih terlalu muda dan sulit untuk bertutur dengan kata-kata di hadapan-Nya. Satu langkah yang saya ingat baik ialah duduk, diam dan mendengarkan sapaanya. Tak pernah terbayangkan kalau ketiga cara ini adalah juga doa. Aku terus merenungi peristiwa íman itu. Sebuah kesaksian cinta sang Bapa, Uluran tangan sang Putra dan Penghiburan Allah Roh Kudus terbukti dalam proses penyembuhan ibuku. Ini langkah awal perjuangan pertemuanku dengan sang KEKASIH hidup......(10)

quinta-feira, 27 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (9)

..........Kembali untuk pergi


Setiap waktu ada ujungnya dan setiap kesempatan ada batasnya. Ujung dan batasnya sebuah waktu dan kesempatan sebenarnya bukan kodrat mereka, tetapi karena alam dan manusialah yang memisahkan dan membedakannnya. Waktu yang diberikan kepadaku untuk menemukan jejak yang pernah hilang diantara kepingan waktu juga sudah berkahir. Aku harus kembali untuk terus bertualang, dan kembali untuk terus pergi mencari makna sebuah kehidupan yang sudah dimulai. Hari itu, Sabtu, 29 September, dalam siklus waktu yang masih sama, yang orang namakan 1990, aku melepaskan rangkuman orang tua dan tidak membiarkan diri dininabobokan oleh dekapan kasih seorang ibu. Maksudku bukan untuk tidak mau dicintai, malah sebaliknya, ingin aku mendirikan kemah dibalik dinding kasih mereka, karena betapa bahagianya berada ditempat itu bersama mereka. Akan tetapi, naluri seorang kembara terus berceloteh agar tidak membiarkan diri digenggam oleh hidup tanpa makna. Kasih dan cinta yang diterima sebenarnya bukanlah bumbu ideal untuk memaknai hidup, cetusku!, tetapi itu hanyalah spirit yang menguatkan seorang kembara untuk terus berlangkah. Dalam rentang waktu tiga hari berada bersama orang tua, hidupku disirami oleh dua bumbu desa ini, kasih dan cinta, dan itu sudah cukup, untuk saya memulai lagi petualangan dengan semangat yang baru.

Aku beralih langkah, dan pergi untuk kembali menempatkan kaki di lembah Kuwu. Siang itu, ketika bumi merintih lantaran panasnya matahari, aku beranjak pisah, sambil berniat untuk bertemu kembali dengan teman kembara yang kulepaskan selama tiga hari. Kali ini aku melepaskan jabat erat seorang ayah dengan hati yang tegar, dan menepis rangkulan kasih seorang ibu dengan kesadaran akan keharusanku untuk terus menata masa depan. Aku tiba dihari yang sama di kuwu. Kusaksikan kebahagian sahabat-sahabatku dan kunikmati gelak tawa masing-masing mereka. Aku sungguh menghidupi pengalaman bahagia mereka, karena aku juga meraih cinta yang sama dari orang tuaku. Di sela-sela kegembiraan itu, tentu ada kerinduan untuk kembali dan terus menetap ditengah keluarga. Saat itu, akupun memiliki kecendruangan untuk kembali sambil membangunkan tenda di balik dinding kasih orang tua, aku dikuatkan oleh keputuasan sang KEKASIH, Mestre dan Pendidik utama keluargaku, yang mana Dia, Jesus, tidak mengizinkan murid-muridnya untuk membangunkan tiga tenda saat mereka berbahagia berada bersama-Nya. Alasan-Nya ialah bukan karena Dia tidak suka tempat itu, gunung Tabor di mana mereka berada, bukan juga karena tidak suka dengan permintaan murid-murid-Nya, akan tetapi, karena Dia mau supaya murid-murid-Nya itu pergi, dan membagikan kebahagiaan mereka itu kepada orang yang berada dilembah Tabor.

Aku terbawa oleh kisah ini. Karena itu, aku berani pergi dan perlahan meninggalkan keingianku itu. Ku urung niat untuk membangun tenda bersama orang tua dan pergi sambil mengenakan kasut kusam untuk terus menjelajah mencari sudut bola bumi. Impianku yang irealistis. Aku terus berlangkah pada jalanku. Kali ini aku tidak bertualang sendirian, juga tidak merasa asing dengan alam dan sahabat, karena aku sudah mengenal beberapa lagi dari mereka. Ku jumpai lagi dua sahabat lamaku, Ansi dan Alfons. Bersama merekalah aku bebas bertutur, dan dengan merekalah aku terus berlangkah. Kami bersatu bukan dalam segala hal, tetapi kami hanya memadukan niat dan prinsip yang sama. Berjalan sambil menebar harapan, merajut masa depan sambil mengais kasih sang KEKASIH yang kami imani. Niatku untuk pergi dan terus pergi tidak pernah pudar oleh kelamnya waktu diakhir hari itu. Aku sungguh dikuatkan oleh kisah sang Guru-ku yang tidak membiarkan murid-muridnya membangun tenda di tempat dimana mereka merasa aman dan bahagia. Tantangan yang menarik untuk saya terus pergi menuju pencarian yang bermakna. ...(9)

segunda-feira, 24 de maio de 2010

Lagi-lagi tenggelam dalam kesibukan, sampai lupa untuk melanjutkan gagasan ini. Aku berjanji untuk kembali. Banyak kisah yang patut disharingkan dan ada kasih yang perlu dirasakan. semuanya akan ku bagikan kepadamu semua. Nantikan aku dengan sabar dan setia.

sexta-feira, 7 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (8)

.....Melepas kelelahan, menata strategi


Di ujung sebuah waktu, di hari yang sama aku tiba di pangkuan ibu kelahiranku, kampung sunyi, dusun yang tak gemerlap dan rumah yang jelata. Ku tapak kembali dia dengan wajah yang baru, dengan hati yang tetap sederhana dan dengan kerinduan yang tak bertepi. Aku membekasi kembali jejak yang pernah hilang diantara kepingan waktu. Sore itu, September, 26, aku terhanyut dalam kasih sang ibu dan terbawa oleh tawa bahagia sang bapa. Sungguh bahagia!. Ku terima salam hangat dari anggota rumah, ku sambut senyum bahagia dari sahabat tetangga dan ku gayung makna kehidupan dari ibu bumi. Ditengah rangkulan penuh kasih dan di balik jendela jiwa, naluriku sebagai petualang mengingatkan aku agar segera melepaskan diri dari rangkualan itu. Aku menuruti suara itu karena argumennya sangat sederhana, tetapi masuk di akal, yakni supaya aku tidak terbiasa dan tidak terbius dengan semuanya itu, karena seorang petualang harus menunjukan keperkasaannya. Setelah ku simak maksudnya ternyata ada jawaban yang sedang menanti. Katanya, keunggulan seorang kembara bukan terletak pada jumlah orang yang mengasihinya, tidak juga diukur dari berapa banyak rangkulan kasih yang diterima, tetapi tergantung pada kemampuan untuk mengasihi, memberi dan berada bersama dengan setiap mereka yang dijumpai dijalannya. Aku belum terlalu mengerti maksudnya karena usiaku masih dalam fase perkembangan yang mana manusia masih membutuhkan kasih sayang.

Taat terhadap suara itu dan setia mengikuti indikasi ilahi, aku perlahan melepaskan rangkulan itu dan mulai duduk sambil bercerita tentang perjalananku yang belum terlalu lama. Dengan rasa ingin tahunya yang sangat besar, ayah mulai bertanya tetang jalan yang sedang kutelusuri, tentang ruang dimana saya meletakan kepala, dan tentang waktu dimana saya bernafas. Sementara ibu, sambil menatap iba, dengan air mata kasih, mempertanyakan tingkahku dalam hubungan dengan makan dan gizi. Aku kurus dan bermuka pucat. Ingin kuceritakan semuanya tentang duka seorang petualang di lembah Kuwu, tapi aku malu pada diriku sendiri, tidak mau mencemaskan mereka, takut kepada alam dan setia menuruti bisikan nurani. Rasa iba bercampur curiga sang ibu berawal dari kesan lamanya tentang diriku yang lazim kurang akrab dengan setiap santapan dan kurang berminat dengan setiap hidangan. Aku tak mau bersaksi sebagaimana adanya karena aku masih mencintai jalan itu. Aku sendiri kurang ingat kenapa saat itu ingin kembali bertualang di tempat yang sama, pada hal medanya kurang menyenangkan. Satu hal yang masih segar dalam ingatanku bahwa tempat itu, Sint Klaus School, cukup favorit di wilayahku, indah alamnya, sunyi tempatnya dan berkualitas pendidikan kembaranya. Orang tuaku pun tak pernah izinkan aku untuk mengalih haluanku. Ada kecocokan antara niatku dan keinginan orang tuaku. Ingin aku ceritakan kegetiran perjalanan itu, tapi aku masih memiliki kebijaksanaan, sembari mencari makna dibalik duri dan mengintip pelangi dibalik awan.

Malam semakin larut dan aku pamit sambil mengucapkan “good night-Boa noíte”, kemudian pergi meletakan kepala diatas bantal yang ibu pernah berikan sebelum aku keluar dari rumah itu. Aku terlelap diatas kelembutan bantal tempat manusia meletakan kepala. Lembut bukan karena padatnya kapas yang mengisi kekosongan, tetapi karena dia disiap oleh tangah kasih dengan hati bening seorang ibu yang mencintai buah hatinya. Lama aku tak merasakan itu dan inginnya terus tidur sampai sinar redup kembali. Aku cendrung mengikuti kata hati, namun naluri seorang kembara terus mengontrol dan bertutur agar tidak membiarkan diri dikuasasi oleh keinginan daging. Malam berlalu dan mentari merekah lagi seolah-olah mau membangunkan anak manusia yang lelap tertidur. Sulit bagiku untuk mengikuti gaya hidup lama. Saat itu aku baru sadar kalau hidup itu berubah, kalau waktu dan ruang bisa mengubah tingkah, kalau perjalanan menguak tabir kehidupan, kalau aku berwajah lain dan kalau bumi bersaksi setia. Aku diam dan beristirahat secara fisik namun jiwaku terus bergetar dan naluriku terus berjalan sambil memulihkan tenaga yang terkuras dan menyusun strategi baru untuk perjalanan berikutnya. Strategi kali ini sangat sederhana yakni melepas kenyamanan dan pergi bermain api, menepis ego dan pergi merajut waktu. Liburan pertamaku itu sungguh mengesankan sekaligus menyenangkan. Ada kecendrungan untuk bertutur, ada kemauan untuk bercerita dan ada keinginan untuk tinggal dan terus menetap. Namun apakah aku harus mengikuti keinginan daging?. Maksud petualanganku ialah bukan untuk menyangkal kalau aku dan manusia lain adalah berdaging lemah, paling tidak ada semangat untuk berjuang melawan kelemahan daging dan membiarkan diri dituntun oleh Roh. ...(8)

STILLNESS OF HEART - PAZ NO CORAÇÃO


I'm out here on the street

(Estou aqui na rua)

-Saya berada di sini, di jalan

There's no one left to meet

(Não há niguém para encontrar)

-Tak ada seorangpun untuk bertemu

The things that were so sweet

(Aquilo que era tão doce)

- Yang manis itu

No longer move my feet

(Já não me faz mexer)

- Sudah tidak lagi membuat aku bergerak

But I keep trying

(Mas continuo a tentar)

- Tetapi saya terus mencoba

I keep on trying

(Continuo a tentar)

- dan terus mencoba


I've got more than I can eat

(Tenho mais do que posso comer)

- Aku mempunyai lebih dari apa yang saya bisa makan

A life that can't be beat

(Uma vida que não pode ser melhor)

- Sebuah kehidupan yang tidak bisa lebih baik

Yet still I feel this heat

(Mas sinto este calor)

- Tetapi saya merasakan panas ini

I'm feeling incomplete

(Sinto-me incomplete)

- Saya merasakan tidak sempurna

What am I buying?

(O que compro?)

- Apa yang saya beli?

My soul is crying

(A minha alma chora)

- Jiwaku menangis


All that I want

(Tudo o que quero)

- Semua yang ku inginkan

Is stillness of heart

(É paz no coração)

- Adalah kedamaian dalam hati

So I can start

(Para que posa começar)

- Supaya aku bisa memulai

To find my way

(a encontrar o meu caminho)

- Untuk menemukan jalanku

Out of the dark

(Longe desta escuridão)

- Jauh dari kegalapan ini

And into your heart

( E para dentro do coração)

- dan kedalam hatiku


Wher's the love?

(Onde está o amor?)

- Di manakah cinta?

What is this world we live in?

(Que mundo é este onde vivemos?)

- Dunia macam apakah tempat tinggal kita ini?

Wher's the love?

(Onde está o amor?)

-Di manakah kasih?

We've got to keep on giving

(Temos de continuar a dar)

-Kita harus terus memberi

Where's the love?

(Onde está o amor?)

- Dimanakah cinta?

What Happened to forgiving? anyone?

(O que aconteceu ao perdão? Alguém?)

- Apa yang terjadi dengan pengampunan? seseorang?


quinta-feira, 6 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (7)

......Pulang untuk kembali

September ‘90

September tiba pada waktunya dan datang pada musimnya. Harapan untuk kembali menapaki jejak yang lama ditinggalkan semakin membara. Aku hampir kehilangan naluri kesabaran, tat kala ku rasa waktu enggan bergulir dan hari sulit untuk berlangkah. Aku bertanya apakah sang waktu yang bermasalah dan hari yang tak mau beralih, ataukah memang karena aku yang tak tahu memaknai kehadiran mereka dalam hidup?. Saat merangkai penggalan pengalaman ini, aku teringat kata orang bijak yang setia menghargai waktu dan tekun menghayati hidup dengan pekerjaan. “Kalau kita mengisi waktu dengan pekerjaan dan pandai menghitung hari dengan kebajikan, pasti waktu terasa singkat dan hari terasa pendek”. Aku terus menanti hari dan menunggu waktu yang berahmat itu.

Belahan waktu, yang orang namakan 26 September sudah mendekat. Aku dan sahabat-sahabatku sudah mulai tertawa ria karena tak lama lagi kami harus menapakai kembali tapak kami masing-masing yang lama ditinggalkan dan hampir pudar. Waktu berahmat yang sebenarnya bagi anak-anak yang sedang ‘menyusu’ pada ibu Sint Klaus School ialah 25 September, karena dia merayakan pesta pelindungnya, Santu Klaus, Orang kudus Allah, model kesucian manusia, darah kelahiran Swiss, pertapa yang menghabiskan masa tuanya di lembah pegungungan di negri benua putih itu. Namun, fokus perhatianku waktu itu bukan Manusia model kesucian itu, bukan juga KEKASIH sumber kekukudusan sejati, tetapi kerinduan untuk pulang membekasi tapak yang hampir beranjak, dan merangkul kembali mereka, bapak dan ibu, pendidik iman, harap dan kasih. Aku pulang bukan untuk menetap, pulang bukan karena putus asa, tetapi pulang untuk menyusun kembali langkah yang kaku sambil menata strategi baru untuk bisa memulai lagi petualangan dengan kaki, tenaga dan keringatku sendiri.

Hari yang dinantikan sudah tiba. Hari itu, Rabu 26 September, ketika matahari mulai merekah dan alam, yang sebagaimana lazimnya menyajikan kesegaran dengan angin sepoi basah yang datang dari arah gunung “Golo Lusa”, aku bergegas mencari jejak yang pernah kutinggalkan. Aku tidak pulang begitu saja tanpa pamit, tetapi kudapatkan sahabat-sahabatku yang telah kujaring dalam rentang waktu kurang lebih tiga bulan. Banyak wajah yang membekas dan sahabat yang menata hidupku pada bulan-bulan pertama. Yang masih segar dalam ingatanku dan yang membekas dalam nubariku sampai aku menulis kisah ini ialah mereka yang namanya Frans Firman yang dulu biasa ku sapa Ansi dan Alfons Jehadut. Keduanya sudah lama kehilangan jejak dari pelupuk indraku. Dua nama dan wajah yang berbeda ini adalah mereka yang ku kenal sejak pekan pertama dimana aku memulai merajut sejarah baru di lembah Kuwu. Saya sendiripun tidak ingat persis bagaimana kisah pertemuan kami pada hari-hari pertama. Tetapi yang masih segar dalam ingatanku ialah sahabat yang kupanggil Ansi itu adalah teman sekelasku selama empat tahun, dan Alfons, yang meski dikelas berbeda tetapi aku mengenalnya karena kami datang dari arah yang sama. Sejauh ingatanku, kedua sahabat ini adalah mereka yang mempunyai prinsip hidup yang hampir sama dengan aku. Selama enam tahun kami mengukir sejarah yang sama dalam dekapan Santu pelindung sekolah, Santu Klaus, model kesucian manusia. Sebelum aku beranjak, aku mendapatkan kedua sahabatku ini sekedar untuk melepaskan kata pisah sambil berucap “Adeus, see you again”....(7)

quarta-feira, 5 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (6)

.....Mengosongkan diri dan pergi

Senin, Juli 16. 1990. Kuwu terbungkus dingin oleh hukumnya alam. Aku kedinginan bukan saja karena angin pagi yang dingin tak berbasah, bukan juga karena merasa sendiri dan ditinggalkan oleh orang tua, tetapi karena merasa asing berada diantara mereka yang tak pernah ku kenal. Petualanganku yang sesungguhnya hendak dimulai. Awalnya aku cendrung berdiam diri dan terus menetap dalam ego dan kesendirianku. Ku tapaki hari itu dengan hati tak berisi dan dengan kasut yang tak berwarna. Enggan untuk membuka jendela jiwaku. Namun tubuh tak mampu menahan jeritan jiwa. Aku terganggu oleh suara bisik naluriku sendiri yang bertanya “bagaimana harus keluar dari diriku sendiri dan pergi menjumpai mereka?”. Sulit dan sulit. Keinginanku ialah menutup jendela jiwa dan tidur dalam kesenyapanku, namun ternyata Cahaya Mentari jauh lebih kuat dari kelamnya malam sang jiwa. Aku bergulat dengan perasaan dan berjuang melawan ketakutanku. Ku coba dekati mereka dengan caraku sambil menebar harapan akan datangnya rahmat dalam diri sahabat. Inginnya saat itu segera kembali ke rumah orang tuaku, karena disana aku telah menjaring kasih yang tak terbagi dan sahabat yang penuh makna. Namun wajah mereka terus datang dalam bayangan sambil mengualangi syair suci “Guru” mereka yang pernah berujar kepada murid-murid-Nya agar “berlayar ke tempat yang lebih dalam lagi”. Perjuanganku itu memakan waktu. Aku terus berusaha mengais kasih diantara gersangnya relasi pada hari pertama.
Hidupku terus ditandai dengan keraguan dan penuh tanya sambil berdesus apakah mereka membutuhkan aku dalam bahtera mereka. Inilah ciri khas awal kepribadianku yakni kurang yakin dengan diri sendiri. Waktu terus berputar dan hari terus berlalu. Pergulatan emosi mewarnai langkah awalku saat itu sampai suatu ketika merasa bahwa ternyata aku tidak saja berguna untuk mereka tetapi lebih dari itu ialah mereka membutuhkan aku. Aku sendiri tak mengerti, apa yang mereka butuhkan dari diriku, tapi saya yakin aku berguna karena bisa menemani mereka dalam kesendirian masing-masing mereka. Perahu memang bisa laju dengan dayungan seorang diri, tetapi sangat lamban. Jauh lebih cepat jalanya bila aku menemani mereka dan bila mereka menemani aku dalam mendayungnya, apalagi kalau ombak datang dengan keganasannya, ujarku dalam kesendirianku.

Aku terus bergulat sampai terkadang menguras tenaga dan menyita banyak waktu. Tidak pernah takut dengan kehilangan waktu dan tak pernah enggan untuk bertanya kepada alam apakah hidupku saat itu bermakna. Hanya satu ketakutanku ialah kehilangan jejak dan kegagalan meraih hidup. Karena itu aku rela mengosongkan diri dan pergi, membiarkan kalbu disentuh dan dituntun oleh ‘KEKASIH’-ku dan merelakan ‘alma’ dibajak oleh pengalaman dan dijamah oleh naluri alam dan manusia. ...(6)


Inilah wajah negri Portugal di musim semi. saksikan karya Sang Pencipta dalam alam yang indah dan dalam bunga yang tak ditanam oleh manusia. Menurut istilah orang setempat, alam yang indah dan bunga yang subur seperti ini hanya bisa ditanam dan disemaikan oleh tangan malaikat.

terça-feira, 4 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (5)

-II-
...ANTARA RUMAH DAN COLEGIO,
ANTARA WELA DAN SINT KLAUS SCHOOL

Juli, 1990

Sabtu, 14.07. 1990. Aku meninggalkan rumah orang tuaku. Ku lepaskan mereka satu per satu dan ku tanggalkan seragam nasional merah putih untuk digantikan dengan seragam putih biru. Sulit rasanya tinggalkan jejak lama. Yang paling membebankan aku saat itu bukan hidup baru yang bakal aku hidupi, bukan juga kantongan barang yang hendak ku pikul dan tidak juga sahabat sebayaku yang aku lepaskan dihalaman rumahku, tetapi, aku merasa kehilangan dekapan sang ibu dan jabatan erat sang ayah yang melegahkan aku. Ketika aku membuka kembali diariku yang mengisahkan perpisahan pertamaku ini, aku dililiti oleh rasa bingung bercampur heran sekaligus benci bercampur iri pada orang tuaku. Bingung, karena tidak memahami akan kemampuanku saat itu untuk melepaskan mereka. Benci bercorak iri, karena mereka merelakan untuk tidak merangkul dan “menyusui” aku lagi. Sempat terlintas dalam bayanganku dan malah aku berceloteh dengan diriku sendiri kalau mereka berhenti mencintai aku. Ternyata alam menyapa dan bumi mendengar hasutan jiwa, segera menjawab dan memuaskan aku dengan memperdengarkan kembali niat orang tuaku untuk meretas jalan hidupku sendiri. Aku terlalu muda untuk mengerti semuanya. Maklum, aku baru berumur empat belas tahun, usia dimana manusia memulai fase baru dalam kehidupan biologisnya.

Ku telurusi jalan sepanjang kampungku yang era itu belum teraspal. Ku bekasi dia dengan tapak yang berkasut setengah kusam, dan ku tandai dengan air mata kerinduan. Aku berada dipersimpangan emosi. Atau meratap karena aku harus keluar atau ikut bergembira karena bebas dari kontrol bapak dan bunda. Ingin rasanya aku melantunkan lagu ”Don’t cry for me Argentina” dengan gubahan syair “Don’t cry for me Wela”. Tapi ku urung niatku oleh air mata ibuku yang meratapi kepergianku. Sebenarnya aku bukan pergi untuk selamanya, juga bukan meraih pulau asing yang terletak nan jauh dari pandangan. Aku hanya berubah ruang untuk menetap dan melewati waktu untuk mengukur kerinduan, karena jarak antara kampung kelahiranku dengan Kuwu, tempat letaknya Sint Klaus school tidak seberapa. Ku isi hari itu dengan kalbu yang muram tat kala ibu menandai bumi dengan air mata. Sulit untuk menebak perasaan ayahku. Tapi aku yakin, dalam kesunyiannya ia merelakan aku untuk pergi karena toh itu niatnya. Pergi untuk meretas jalanku sendiri. Ayahku, seperti biasa, setia mendampingiku. Ia menemani aku sampai ke tempatku yang baru. Kuwu tanah yang menjanjikan cinta.
Waktu sudah menunjukan pukul 15.00 Wita. Sang ayah perlahan meninggalkan aku dan tanganya terulur untuk melepaspisahkan aku. Dia harus kembali ke rumahnya untuk mendampingi ibu dan saudara-saudariku yang saat itu masih kecil, sambil menata hidupku dari jauh. Kelihatannya dia kuat melepaskan aku dan rela tak memandang aku dalam sepenggal waktu. Ayah berbalik wajah dan akupun beralih langkah. Kutemui wajah baru yang tak pernah ku kenal. Sulit bagiku untuk menerima semuanya itu. Tapi suara yang satu itu terus menuntunku. Kali itu aku terpaksa memulai hidupku yang baru bersama wajah yang asing dengan keinginan yang mendalam untuk menjaring banyak sahabat....(5)

33 tahun sudah berlalu. Aku membekas bumi dengan penuh pertanyaan apakah aku bermakna bagi bumi. Rasanya aku baru dilahirkan kemarin tanggal 3 mei 2010. Para sahabat dan "KEKASIHKU" mengatakan kalau aku bukan saja berharga dimata dunia tetapi lebih dari itu aku dibutuhkan dunia. Syukur untuk-Mu sang pemberi hidup dan waktu. Engkau perkenankan aku untuk meretas hidup sehari lagi. Kalau boleh, izinkan aku untuk menikmati hidup seabad lagi karena terlalu indah bagiku rencana-Mu dan terlalu bahagianya aku menyambut waktu yang baru ini. Terima kasih juga untuk semua mereka yang ikut bergembira bersama aku dihari kemarin. Syukur juga untukmu semua yang mengirim bingikisan salam buat kemeriahan hari kemarin. Tuhan memberkatimu.

quinta-feira, 29 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (4)

....Berjalan sambil belajar

Sejak, akhir 1986

Usiaku tak tertinggal oleh berputarnya roda waktu. Akan tetapi, ia terus bergulir dan terus beranjak bersama hembusan angin yang tak akan pernah kembali ke peraduannya. Aku terus berjalan dan semakin mengerti bahasa manusia, semakin insyaf akan isyarat alam dan semakin tertegun dengan indahnya bumi. Sambil berjalan aku menyusun semuanya itu dalam kalbuku yang tak berjendela, menatanya rapi dalam kepingan hati yang tak terbagi. Berjalan sambil belajar adalah motif awal langkahku di belahan waktu’86. Usiaku saat itu berbusana lain. Bahasanyapun berisyarat berbeda. Aku bertingkah dalam konteks anak manusia yang hampir menginjak masa puber. Sembilan tahun sudah berlalu. Ku coba mengevaluasi posisi saya saat itu. Aku tak mengerti struktur tubuhku, kurang insyaf akan keinginannku. Tetapi aku tak pernah diam. Ku coba meluruskan arah pandangku, merapihkan benang hidup yang kusut dan memoles warna daging yang kusam. Aku coba dan terus berjalan dalam cahaya yang orang tuaku pernah perkenalkan, sambil belajar intesitas kekuatannya saat dia mencium kaki bumi, Ku telusuri perputaran waktu, kusimak setiap denyutannya dan ku coba meraih suaranya yang berbicara kepada setiap insan yang bertapak.

Suara kiat sang bapak dan bunda berceloteh lagi. Tak pernah pudar dari memoriku. Kali ini, tahun yang manusia namakan ‘87, suara itu datang dengan gumam yang bernada sedikit serak basah “Berjalan sambil belajar”. Susunan otak kiri dan kananku sekali lagi masih lemah untuk memahaminya. Aku menerjemahkannya secara literal. Kupikir, disaat angin senja menari, ketika bumi menampilkan cahaya remang aku harus membuka catatan hidup, berbicara dengannya, sambil membekas bumi dengan kaki tak berkasut. Ternyata maksud mereka adalah lain. Ku tanyakan kepada sang bintang yang menyaksikan langkahku saat itu, apakah suara bunda dan pasangannya itu berasal dari dunia?. Berjalan sambil belajar. Tekat perdanaku ialah bukan berjalan tapi berlari. Maklum!, dalam usia itu aku sudah menganggap diri matang untuk berlari mengejar waktu. Aku menganggap bahwa aku sudah dewasa untuk memikul sendiri bola bumi yang tak mempunya sudut. Inilah cirikhas anak manusia yang lagi naik darah dan berpuber ria. Saat aku mengukir sejarah ini, aku mulai bernalar, “andaikan saat itu akau berlari dan tidak berjalan tentu aku tidak akan pernah mengerti bahasa alam karena aku bukan berjalan sambil belajar tetapi berlari tanpa makna sekedar melepas keringat sambil memikul kelelahan”.

Berjalan sambil belajar adalah kata kunci yang terus ku bawa sampai usiaku sekarang. Kuselipkan suara ini dalam dompet memoriku, ku semati dia dalam kalbu yang tak teriris dan ku tata dia seiring dengan berjalanya sang waktu. Suara itu adalah emas yang berkilau, yang darinya aku bisa melihat hidup dan yang dalam terangnya aku bisa memaknai setiap peristiwa. Bersama perginya waktu aku memurnikan penggalan berharga itu sambil memaknai setiap jeritan hati yang lagi merintih, memoles setiap tapak yang tak bermakna dan mengintip setiap pesan yang alam dan hidup kisahkan. Ia, penggalan emas “berjalan sambil belajar” terus berjalan bersama aku. Memaksaku untuk memaknai hidup, membuka cakrawalaku untuk memaknai setiap butir kisah petualang yang berjejal bersama aku dan memotivasikan aku untuk belajar dari pengalaman silamku dan pengalaman mereka yang sempat bertutur bersama aku.

Aku terbius oleh suara itu. Setiap kali ia datang, pikiranku selalu kembali dan terpaut kepada empunya yaitu ibu yang melahirkan aku dan bapak yang menata langkahku. Aku tak pernah lelah mendengar suara itu. Malah sebaliknya, dengan suara itu aku berhasil menata hidupku bersama alam yang berkata, bersama sesama yang berjalan dan bersama bumi yang mengukir jejakku disetiap waktu. Suara itu membawa aku kepada keberhasilan dalam belajar dalam arti literal. Waktu itu, di akhir tahun ’89 aku dipilih untuk berbagi pengetahuan bersama sahabat sederajatku dan bersaing demi almamater dalam lomba tingkat kecamatan. Aku tahu bahwa aku mampu tetapi aku selalu pesimis sambil menganggap orang lain selalu mempunyai nilai lebih dari aku. Aku sungguh berada diantara autoestima yang lemah dan kebijaksanaan yang selalu menilai orang lain lebih dari diriku. Dalam kegelapan itu aku tidak mau berekasi keras sebagaimana cirikhasnya lelaki puber, tatapi sambil menghidupi karakter ayahku aku terus berdiam diri sambil menata bawaan alamiah, sembari mecoba, bersama putaran waktu memaknai pesan “berjalan sambil belajar”....(4)

quarta-feira, 28 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (3)


....Belajar untuk Berjalan

Juli, 1986


Perhatian mereka itu terlampau kuat sampai kasih yang mereka bagikan itu mampu melunturkan kesanku akan sulitnya hidup. Waktu terus bergulir seiring dengan pertumbuhanku yang membekas bumi dan menandai alam. Juli, ’85, awal dari tahap ke dua waktu dalam setahun mengukir sejarah dalam kalbuku. Ku dengar seruan angin yang datang dari arah ibuku yang mengatakan bahwa cerita lembaran kusam hasil coretan tangan adalah modal untuk berjalan. Aku tak mengerti maksudnya karena susunan otak kanan dan kiriku barangkali belum terlalu sempurna untuk memahami semuanya itu. Belajar untuk berjalan. Sejak aku mulai mengerti bahasa manusia, logikaku mulai bertutur bahwa untuk berjalan tidak perlu belajar karena waktu toh akan berbicara. Tetapi ternyata maksudnya supaya aku berjalan bukan sekedar jalan dan menepis waktu sambil membekasi bumi, bukan juga sekedar belajar menghitung jumlah bintang dan kuatnya potensi angin tetapi supaya lembaran hidup yang dibuka setiap hari itu punya cerita tersendiri, agar coretan nubari yang di rangkai bernapas kasih dan supaya celoteh hati mampu menepis muramnya waktu. Aku terus berusaha berpikir untuk memahami bahasa waktu dan alam dan terkadang aku menghidupi gaya eksis ayahku yang rada meditatif.

Tenagaku terkuras oleh cara nalarku, pikiranku terbagi oleh dua gaya yang berbeda. Aku berada diantara dua mental yang berbeda, atau menuruti logika hidup ayah dan ibuku, atau bertapak searah dengan perkembangan fisik dan psikisku. Saya tidak ingat apakah aku mengalami stress kala itu karena berada diluar diriku, tapi satu hal yang masih segar dalam ingatanku ialah bahwa aku bahagia karena dituntun, dan bergembira karena ada mercusuar yang menerangi arah nalarku. Aku terus menelusuri maksud bapak dan ibu. Belajar untuk berjalan. Ku coba membandingkan maksudnya dengan bahasa yang dikenal oleh orang kebanyakan, “makan untuk hidup’. Kuparalelkan intinya, hidup bukan sekedar hidup dan hidup bukan sekedar bernapas, tetapi hidup yang berkualitas yang mencakupi segala lini sisinya. Juga makan bukan sekedar ada, tidak juga tergantung pada kuantitasnya tetapi yang dipertontonkan ialah gizinya yang bisa menstransformasi dan menormalisasikan struktur tubuh. Caraku untuk mengerti maksud orang tuaku!: Belajar untuk berjalan.

Aku sungguh berada dalam pertautan psikis. Juli, bulan yang mengukir bentuk kepribadianku, dan waktu dalam skala tahunan untuk menaruh segala harapan akan dimulainya tahun ajaran baru untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, mengingatkan aku kembali pada kiat ayah dan ibuku. Belajar supaya aku bisa berjalan selayaknya. Belajar untuk aku bisa menata bumi dan belajar agar aku bisa membagi waktu untuk “Kekasih”-ku, untuk kembara kelana yang berjejal di tebing waktu dan untuk diriku sendiri yang sedang mencari identitasku. Aku masih berada ditahun ke dua Sekolah Dasar pada Sekolah Dasar yang didirikan seturut Instruksi Presiden yang bertempat di Golowelu II (Ibu kota kecamatan di kabupaten tetanggaku), tempat aku menghabiskan masa kecilku. Terlalu dini aku memikirkan semuanya itu. Tetapi apakah usia selamanya menentukan cara berpikir anak manusia?. Atau, apakah cara berpikir tergantung pada usia?.
Dalam petualanganku bersama mereka yang nyasar dijalanku, sampai saat aku mencoret kisah ini, aku menemukan bahwa begitu dan terlalu banyak insan yang mencapai usia dewasa tetapi masih memiliki cara berpikir inferior, masih dikuasai oleh afeksi yang labil dan sering terbawa oleh emosi yang tak terkendali. Disini kutelusuri maksud kiat sang bapak dan ibu agar aku berjalan atas dasar apa yang ku pelajari atau supaya aku belajar agar bisa menata langkah di setiap ruang bumi yang hendak ku telusuri...(3)

terça-feira, 27 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (2)


.....Belajar dan Berjalan.

Dalam suasana bathinku yang terikat oleh tapak yang enggan melangkah saat aku berpijak di tebing waktu, aku terus dituntun oleh Cahaya yang pernah kulihat bersama ayah dan bundaku. Cahaya itu membawa aku kembali ke pangkalan kasih yang pernah ku rajut bersama sang ayah diawal Juli, 1984. Bapa menemaniku dalam Belajar dan Berjalan, sang ibu mengusap keringatku karena lelah bergulat dengan masa depanku. Belajar adalah kata kunci yang selalu kudengar dari mulut ayahku. Dengan cara khasnya dia selalu menemani aku dan saudaraku. Saat itu aku tidak bisa menebak maksudnya yang mewajibkan aku untuk duduk dan membuka lembaran catatan kusam. Akupun tak pernah optimis kalau kelak aku tahu membaca dan menulis. Cirikhas kepribadianku. Ayah dan ibuku membiarkan kami belajar dan berjalan. Belajar tanpa tahu persis target yang hendak digapai dan berjalan tanpa arah pasti yang hendak dituju. Namun kebajikan khas yang selalu mereka pancarkan ditengah kemelutnya waktu dan alam ialah iman, harap dan kasih. Iman akan Tuhan mereka membuat mereka optimis dalam menata ladang anaknya, Harap akan hadirannya Cahaya menguatkan mereka untuk meretas misteri petualangan dan Kasih yang tak terbagi memampukan mereka untuk selalu menebar senyum kepada siapa saja yang hendak membagi rahmat. Aku tertegun menyasikan semuanya itu sambil bertanya kemanakah bahtera kami hendak dibawa.

Waktu semakin berlalu tatkala Dezember ’84 memberikan lampu sein pratanda beranjaknya waktu. Sebelum aku beralih langkah menuju tangga dan rentangan waktu yang baru, orang tuaku mengingatkan aku kalau pekan sebelum pamitnya Dezember’ 84 semua orang yang menamakan dirinya Kristen merayakan hadirnya Cahaya. Natal datang mengusap darah dan air mata anak zaman, menebarkan keselamatan tanpa upah, menerangi bumi dengan pelita malam serentak memecahkan kesunyian bumi dengan tangisan Sang Pembawa damai. “Gloria in ex celcis Deo”. Syair khas nyanyian natal, kidung agung para gembala, manusia sederhana, miskin dan papa. Aku terus menelurusi jalan itu, jalan yang diperkenalkan oleh bapak dan bundaku. Kesederhanaan natal ’84 dan tahun-tahun berikutnya adalah khas bahtera kami. Teriring oleh cahaya remang lampu pelita, sang ayah bertutur kepadaku tentang natal Tuhannya di Betlehem. Dengan dengungan nyanyian “Holy night” ibu menemani kisah itu. Jadilah kami merayakan natal yang super sederhana dengan cahaya yang agak remang.

Kisah natal yang didongengkan itu tersimpan rapih di sisi terdalam nubariku. Kesederhanaan sang ayah dalam menuturkan hadirnya Cahaya adalah saksi suci akan hadirnya Tuhan mereka. Aku terus berjalan dan usiaku beranjak setahun lagi. Kiat untuk belajar untuk menghitung jumlah bintang di langit tak pernah pudar oleh waktu. Bapak dan bunda tidak membiarkan semangatnya diluntur oleh sejarah yang sedang terangkai. Mereka terus dan terus menuntunku untuk belajar besarnya bola bumi dan mengukur batasnya waktu. Dua kata itu rapih tersusun sampai di batas akhir suatu rentangan waktu yang orang namakan 1984. Belajar dan berjalan, dua kata yang selalu sulit untuk dipahami dalam jelang waktu yang bukan pendek. Ibu dengan naluri keibuannya melatih aku untuk memegang pena dan ayah menata aku untuk berjalan dalam kesunyian. Semangat yang mereka miliki itu untuk menuntun aku dan saudara-saudariku bukan hasil dari lembaran kusam yang mereka pernah buka, bukan juga hasil dari coretan lepas yang pernah mereka rangkai, tapi bersumber dari “Kekasih” mereka yang mengajarkan mereka membagi kasih. Tanggung jawab mereka terhadap aku dan saudara-saudariku sedarah adalah kepingan emas yang selalu mereka bagikan kepada kami, kepada dunia dan kepada kita...(2)

domingo, 25 de abril de 2010


Kalau kaki enggan untuk berlari, berjalanlah pelan tapi percaya diri sambil mengumpulkan tenaga. Kalau hati sulit terjangkau cukuplah motivasi yang menguasaimu. Kalau tidak bisa menjadi seperti matahari atau bulan, cukuplah menjadi bintang kecil yang setia mengiringi perginya malam. Kalau tidak bisa seperti pohon, cukuplah menjadi semak indah yang tumbuh dipinggir jalan yang memberi kesejukan dan kebahagian bagi siapa saja yang menapaki jalan itu.
Sabtu, 24 April 2010. Berdecak kagum dengan indahnya pemandangan di musim semi disamping jalan yang ku lewati. Ini bukan hasil jerih payah manusia tapi hasil tangah Allah yang menata saudari bumi. Proficiat untukmu Sang Pencipta.


April, 25. 2010. Minggu cerah tak berawan menepis perlahan dinginnya winter. Ku telusuri lahan luas tak bermakna. Kebetulan musim semi. Dia jadi bermakna oleh rangkaian kuntum alami yang tak tertabur oleh tangan manusia. Hukum alam ditempat adaku sekarang mengukir jejak peziarah sambil bercerita bahwa di musim semi Malaekat di negri ini menaburkan bibit bunga yang indah. Begitu waktunya tiba, Primavera, musim semi, mereka menyajikan harum semerbak, mengusir gelapnya pandangan yang kabur dan menuai jepretan kamera para petualang yang membekas bumi pertiwi. Almodôvar, April musim semi, 2010. Sungguh besar dan indah ciptaan-Mu Tuhan.

quinta-feira, 22 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (1)


Dezember, 1984

Minggu, hari pertama dalam pekan, tahun 1984, aku menuruti ajakan ayahku untuk menemaninya menulusuri hutan belantara yang mengelilingi tempat kelahiranku. Tujuan kami ialah mencari ranting kering, mengumpulkan dedaunan yang jatuh karena angin, dan membawanya pulang untuk dijadikan sarana buat ibuku yang lagi cemas dan gelisah karena ketiadaan bahan yang mengubah beras menjadi nasi. Pencarian kami waktu itu tidak terlalu sulit karena zaman itu, hutan adalah tempat dimana berbagai jenis kayu bertumbuh segar dan medan dimana kami menghabiskan masa kecil. Kami sunggu menguasai tempat itu. Aku baru berumur tujuh tahun namun sudah mulai merasakan getirnya sebuah perjuang dan pahitnya merajut waktu. Aku capeh dan tampaknya ayahku juga demikian. Saya meminta dia untuk beristirahat sejenak sambil duduk diatas sebatang pohon yang tumbang karena angin. Sambil bersantai ria dan ketika lelah mulai pudar dari tubuhku aku meminta ayahku untuk bercerita tentang hidup. Maklum! aku masih terlalu kecil untuk mengertinya.

Dalam kelelahannya, dan sambil mengusap keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, sang ayah mulai bercerita tentang hidupnya dimasa silam bersama orang tuanya. Sambil mengarahkan pandangannya kepadaku dengan air mata yang membasahi wajahnya, mengingat saat-saat indah bersama mereka, bapak bertutur kalau orang tuanya dahulu adalah pengasih, penuh cinta, pekerja keras dan ramah dengan siapa saja yang bertualang dijalan mereka. Kisah yang sama pernah kudengar dari ema tu’a dan ema koe-ku (sapaan dalam bahasa Manggarai untuk kakak dan adik dari ayah). Ketika bapak menceritakan sejarah hidup yang dirajut bersama orang tuanya, terbersit sebuah kebijaksanaan hidup seorang anak manusia yang pandai bersyukur atas cinta yang pernah diterima dan kemampuan memaafkan atas ketidaksempurnaan cinta yang pernah dinikmati.

Waktu sudah berujung dan matahari hampir kembali ke peraduannya. Aku mengingatkan ayahku kalau matahari sudah hampir tenggelam. Enggan kelihatannya sang ayah melepaskan memori indah bersama orang tuanya. Kami bergegas pulang sambil membawa beban diatas pundak, masing-masing dengan sebuah ikatan kayu dengan ukuran yang berbeda. Ibuku sudah lama menantikan kehadiran kami. Kali ini, hati seorang ibu sebagaimana hakekatnya luntur terbawa emosi karena penantian yang tak berujung. Dia cemas. Gelisah bukan saja karena kami tiba sebelum waktu tetapi lebih dari itu cemas karena dia tidak bisa melayani santap malam pada waktunya.

Aku bernafas diantara dua figur yang membahagiakan, bertapak diantara dua jiwa yang bertautan, ayah yang sedikit meditatif dan ibu yang tegas tanpa kekurangan kata-kata saat berbagi kata dengan sesama dan Tuhannya. Matahari sudah sangat tenggelam dan malam sudah membungkus anak manusia. Kami; saya, kakaku yang sulung dan adik perempuanku sudah sangat lelah. Alam menuntut tubuh untuk segera beradu karena besok harus pergi belajar mengenal sang Pencipta, menghitung hari-hari dalam hidup, dan mengukur bumi yang tak berujung. Impian ayah dan ibu untuk anak-anaknya saat itu nihil. Mereka selalu pesimis dengan masa depan kami. Ayah yang sangat diam tampaknya pasrah. Disamping karena ketidakmampuannya untuk meraih sekarung harta juga karena kesehatannya yang labil. Aku tidak tahu apakah itu masalah psikis atau masalah fisiknya. Dia hanya mampu menghidupkan impiannya saat itu dengan cara ber-ada-nya. Dia selalu menemani kami dalam belajar mengenal Pencipta, Sang pemberi waktu. Kesetiaanya tidak pernah luntur untuk menemani kami dalam belajar mengenal besarnya bola bumi dan ketulusannya untuk menata masa depan kami tak pernah dicoret oleh kelamnya kondisi fisik. Dia selalu menunjukan dia apa adanya sambil berpasrah pada “GURU”-nya. Belajar dan berjalan, belajar untuk berjalan dan berjalan sambil belajar adalah kiat utama yang ditanamkan sang ayah dan ibu dalam petualanganku.
Ku tutup hari itu dengan “Sembah-yang” kuasa. Hal itu ku buat bukan karena kemauanku sendiri tapi atas mandat sang ayah dan ibu. Mereka meretas jalan kami menuju Tuhan mereka. Pencarian akan Sang Khalik dalam usiaku yang sangat dini dimulai ketika keluargaku berujar “Oremos-Let’s pray” disaat sinar bercahaya merekah dan dikala senja menutup selubung suci sang bumi. Sejak saat itu aku mengenal Tuhannya sang bapak dan ibu dan aku bersyukur karena aku dituntun untuk ke jalan itu.

Aku terus berjalan dalam terang “Dia” yang orang tuaku perkenalkan ketika aku berumur setahun jagung dalam hidup. Itulah dasar pijakanku dan cahaya itulah yang terus menyemangatiku untuk selalu meretas jalan baru yang asing dan penuh liku. Cahaya itu sungguh dasyat dan terlampau kuat sampai suatu waktu, ketika aku berada di tebing waktu, aku mampu memutuskan untuk terus melangkah maju atau terpaksa berhenti dan perlahan mundur....(I)

segunda-feira, 29 de março de 2010


Waktu berganti, cuaca berubah. Diawal pekan suci hujan mengguyur di kota kecilku. Aku tak membiarkan diri basah kuyup. Aku menyelip disalah satu toko super antik yang terkadang aku membekasi pintu rumahnya. Pemilik dagangan semakin akrab saja dengan saya. Ditengah-tengah perbincanganku dengan si pedagang super simpatik itu, terdengar suara sang lelaki tua, berjenggot putih menyapa saya dengan penuh hormat: "Senhor Padre! como está - Pater! apa khabar?. Aku kaget karena aku tidak mengenalnya. Dengan rasa penuh heran saya menyapanya kembali seolah-olah aku mengenalnya lama. Ku tanya dalam hati siapa dia ini. Aku tahu kalau kaum adam di kotaku itu tidak biasa masuk gereja dan saya cukup yakin kalau dia itu tidak pernha ku temukan dalam gereja. Aku terus bertanya, kenapa dia mengenal aku?. Mungikin karena aku satu-satunya orang asing di kotaku ini. tanya retorisku kembali bergumam di nubariku. Setelah perbincangan kami berakhir, aku beralih langkah dari kios itu dan pergi menuju rumahku. Tanpa ada unsur kesengajaan saya menemukan jurnal misi kecil yang ada diatas meja diruang tamu. Ku buka setiap halaman dan ku temukan disana sebuah artikel yang yang berjudul "Cara bermisi ditengah kaum "kafir" di zaman Edan". Ku telusuri paragraf demi paragraf dan di sana kutemukan jawaban dari pristiwa pertemuanku dengan lelaki tua itu. Memberi kesaksian akan kehadiran Allah ditengah kaum "kafir" tidak selamanya lewat kata dan kotbah, tapi cukup dengan cara kita berada sambil mengucapkan "selamat pagi/selamat siang/ dan selamat malam untuk siapa saja yang kita jumpai di jalan kita. "TAMPIL BEDA" terkadang membawa makna yang positif.

sábado, 27 de março de 2010

Malam menepis senja dingin awal musim semi. Aku tertegun dengan perputaran waktu yang begitu cepat. Tak terasa aku hampir beralih ke April, bulan dimana bunga di pinggir jalan mulai berceloteh. Ternyata musim bunga tiba, musim semi menepi dinginya alam. Langkahku hari ini, di akhir pekan, akhir bulan Maret sedikit lelah tatkalah pelayanan menguak hati yg terbagi dan misiku mengukir jiwa yang teriris. Aku bahagia. Dalam kesunyian padang yg dihiasi bunga primavera aku bersyukur karena Yesus memanggilku dari kesederhanaan dan kerapuhanku Dia membawa aku ke negri nan jauh ini. Oh....syairku! ku senandungkan untuk-Mu Bapa. Siapa aku sehingga Engkau menunjukan tangan-Mu kepadaku. Ini tetesan refleksiku disamping jembatan yang menghubungkan Almodôvar dan Semblana. Di negri ini dan di tanah Lusitana, tepatnya utara Portugal aku membekasi bumi, meski bukan dengan telapak kaki yg telanjang namun aku tetap merasakan kehadiran Dikau yg mengetuk kelopak mata hatiku. Roda mobilku bergerak cepat tatkala dia lagi mengejar waktu yang tertinggal. Aku semakin tertegun dengan Bapa yang memanggilku. Lama kau tak merasakah sentuhan ini. Dia terus menatapku, mengukir namaku di atas garis yang bengkok secara berkesinambungan, membenahi diriku tanpa menghiraukan tanda STOP dan Dia terus dan terus bersama aku. Betapa indahnya hariku ini.

sexta-feira, 26 de março de 2010


Bila kaki enggan untuk berlangkah, beristirahatlah sebentar dibawah naungan ketapang, tetapi jangan biarkan diri tertidur, jangan sampai mimpi menguasaimu, sebab dia terkadang menguras konsentrasi dan waktumu untuk terus berlangkah. Bila lidah enggan untuk menyapa dan berkata, ulaskan senyummu! biar mereka yang nyasar dijalanmu merasa disapa. Hati yang gundah berubah rupa ketika berhadapan dengan keramahan yang tak ternodai oleh kelamnya dendam. Andaiakan engkau adalah Dia yang hadir dijalanku biarkan aku menemukan-Nya dikedalaman hatimu tetapi jikau engkau adalah kamu yang adalah sama seperti aku, ijinkan kita untuk saling menyapa tulus penuh persahabatan. Sebab di dalam kamu aku menemukan diriku dan ku yakin aku juga layak untuk kamu bisa menemukan dirimu sendiri. Siapa aku dan kamu sehingga kita saling menyapa??. Tautan rasa bimbang dan percaya diri menggambarkan kita yang lagi ziarah ini adalah insan yang sedang mencari makna hidup. Saya cukup yakin kalau arti hidupku dan hidupmu dapat digapai kalau kita berjalan bersama dengan tulus dan saling percaya antar satu dengan yang lain.Aku terbangun dari mimpiku. Tak terasa senja menyelimuti aku lagi. Bumi dan langit menyapaku dengan hembusan angin sepoi basah di senja berkelabu. Hatiku tergoda untuk berlangkah mundur karena sang Matahari mau beristirahat sejenak. Malam mengajak aku untuk mencari hati yang tak ada naungan. Di tepi jalan sebuah lorong vila tempat aku meletakan kepala, kutemukan sekeping jejak manusia malam yang tak ada naungan. Aku mau mengajak kamu untuk bersama aku memberi kehangatan kepada mereka. Apa lah daya, cetusku, kita sama-sama tak mepunyai rumah untuk menghangatkan mereka. Kendati demikian aku tetap insyaf bahwa kita memiliki dinding kecil buat menyandarkan kepalanya. Meski agak keras, tapi cukuplah untuk untuk memperkuat sandarannya dibumi ini. Ku ingin kamu seperti aku tapi aku sadar bahwa tak ada manusia yang sama dibumi ini. Aku, kamu dan mereka adalah kita yang adalah hasil dari tangan yang sama. Di pelupuk mata dia yang kutemukan malam itu, kutemukan air mata Ilahi yang mengharuskan aku untuk mengusap air matanya dan memolesnya dengan wangian kasih. sayang seribu sayang, terkadang aku lupa membawa wangian dalam perjalanannku. Kalau kamu berjalan bersama aku pasti cukup untuk mengingatkan aku untuk membawanya atau kalau tidak kamu juga bisa mengisi dalam keranjang jalanannmu. Tetapi itu bukan yang terpenting. Yang terpenting ialah kepedulian kita untuk menghapus air matanya, menghangatkan badannya dengan rangkulan kasih dan menepi kesedihannya dengan kebersamaan yang tak mengenal kata pisah.Itulah makna kebersamaan, berjalan sambil menepis debu di kaki sang kembara yang enggan berlangkah, bersatu sambil mengaku kelebihan orang lain dan bertitah sambil menebar bahasa cinta yang merangkul banyak orang. Tetapi aku mau supaya kita tidak tenggelam dalam kebersamaan itu, karena kita bukan orang yang tak punya pandangan. aku dan kamu adalah orang yang Sang Khalik tunjuk untuk meretas jalan damai, menebar kasih dan menyiram benih Ilahi ke tempat di mana kita belum pernah tapakai. Ada orang-orang yang dekat dengan Dia yang mendahului kita. mereka adalah yang berbahagia dan kudus. Kekudusannya bukan karena tampang wajah yang tak ternoda tetapi karena kelemasan jiwanya untuk mencintai orang tanpa pamrih. Nah sekarang aku dan kamu dituntut untuk berlangkah seperti mereka, berjalan tanpa peduli kerikil tajam yang menusuk tapak tilasku. Derita karena duri dan kerikil dalam ziara ini tak ada bandingnya dengan luka, darah dan air mata dari Kekasihku yang mencintai dan memanggil aku dan kamu untuk mengikutinya. Dialah Al-maseh yang menghendaki untuk berjalan dijalannya. Masih ragu untuk menjawabnya?? itu bukan perkara-Nya tetapi masalah kamu dan aku dengan diri kita sendiri. Bertapak sambil menoreh bathin itulah yang tepenting dalam proses permunian diri...
Di jendela kamarku hinggap kupu-kupu yang beruntung. Terdengar nyanyian merpati dari rumah tetangga rumahku. Hening, bisu, terdengar suara Juma'at sengsara hari ini Maret, 26. Aku bergegas menatap Cristo tersalib tanpa palang kayu. Ku tanya, dimana salibnya? aku menoleh ke samping kananku, salib jatuh tepat di kakiku dan hampir terinjak. Sedih bercampur terharu aku menatapnya. Ku angkat dan kuletakan dengan perasaan cemas diatas bantal tidurku. Tiba-tiba kupu-kupu datang dan hinggap di kepalaku. wah....cetusku. siapa engkau? tanyaku!. Dia yg beruntung itu pergi dan menghilang dari bola mataku. Ku cari dan terus ku cari, tapi sayang dia sudah terbang semakin jauh. Aku tidak sedih karena kepergiannya tapi hatiku terus bertanya siapa dia yang datang di pagi hari saat peristiwa itu terjadi?. Pencarianku tak'an berakhir sampai ku temui dia sekali lagi. Niatku!

quarta-feira, 24 de março de 2010


Aku datang kembali setelah sekian waktu menghilang dari dunia ini. Di ujung masa tobat ku sapa kamu dan mereka yg juga hilang dari daratan ini. Aku berjanji untuk menatar kembali bait-bait singkat, merajut kembali kata-kata sederhana dan menuturkan kisah-kisah hidup harianku. Kiranya berguna untukmu yang hendak berceloteh di Jendelaku ini.