Dezember, 1984
Minggu, hari pertama dalam pekan, tahun 1984, aku menuruti ajakan ayahku untuk menemaninya menulusuri hutan belantara yang mengelilingi tempat kelahiranku. Tujuan kami ialah mencari ranting kering, mengumpulkan dedaunan yang jatuh karena angin, dan membawanya pulang untuk dijadikan sarana buat ibuku yang lagi cemas dan gelisah karena ketiadaan bahan yang mengubah beras menjadi nasi. Pencarian kami waktu itu tidak terlalu sulit karena zaman itu, hutan adalah tempat dimana berbagai jenis kayu bertumbuh segar dan medan dimana kami menghabiskan masa kecil. Kami sunggu menguasai tempat itu. Aku baru berumur tujuh tahun namun sudah mulai merasakan getirnya sebuah perjuang dan pahitnya merajut waktu. Aku capeh dan tampaknya ayahku juga demikian. Saya meminta dia untuk beristirahat sejenak sambil duduk diatas sebatang pohon yang tumbang karena angin. Sambil bersantai ria dan ketika lelah mulai pudar dari tubuhku aku meminta ayahku untuk bercerita tentang hidup. Maklum! aku masih terlalu kecil untuk mengertinya.
Dalam kelelahannya, dan sambil mengusap keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, sang ayah mulai bercerita tentang hidupnya dimasa silam bersama orang tuanya. Sambil mengarahkan pandangannya kepadaku dengan air mata yang membasahi wajahnya, mengingat saat-saat indah bersama mereka, bapak bertutur kalau orang tuanya dahulu adalah pengasih, penuh cinta, pekerja keras dan ramah dengan siapa saja yang bertualang dijalan mereka. Kisah yang sama pernah kudengar dari ema tu’a dan ema koe-ku (sapaan dalam bahasa Manggarai untuk kakak dan adik dari ayah). Ketika bapak menceritakan sejarah hidup yang dirajut bersama orang tuanya, terbersit sebuah kebijaksanaan hidup seorang anak manusia yang pandai bersyukur atas cinta yang pernah diterima dan kemampuan memaafkan atas ketidaksempurnaan cinta yang pernah dinikmati.
Waktu sudah berujung dan matahari hampir kembali ke peraduannya. Aku mengingatkan ayahku kalau matahari sudah hampir tenggelam. Enggan kelihatannya sang ayah melepaskan memori indah bersama orang tuanya. Kami bergegas pulang sambil membawa beban diatas pundak, masing-masing dengan sebuah ikatan kayu dengan ukuran yang berbeda. Ibuku sudah lama menantikan kehadiran kami. Kali ini, hati seorang ibu sebagaimana hakekatnya luntur terbawa emosi karena penantian yang tak berujung. Dia cemas. Gelisah bukan saja karena kami tiba sebelum waktu tetapi lebih dari itu cemas karena dia tidak bisa melayani santap malam pada waktunya.
Aku bernafas diantara dua figur yang membahagiakan, bertapak diantara dua jiwa yang bertautan, ayah yang sedikit meditatif dan ibu yang tegas tanpa kekurangan kata-kata saat berbagi kata dengan sesama dan Tuhannya. Matahari sudah sangat tenggelam dan malam sudah membungkus anak manusia. Kami; saya, kakaku yang sulung dan adik perempuanku sudah sangat lelah. Alam menuntut tubuh untuk segera beradu karena besok harus pergi belajar mengenal sang Pencipta, menghitung hari-hari dalam hidup, dan mengukur bumi yang tak berujung. Impian ayah dan ibu untuk anak-anaknya saat itu nihil. Mereka selalu pesimis dengan masa depan kami. Ayah yang sangat diam tampaknya pasrah. Disamping karena ketidakmampuannya untuk meraih sekarung harta juga karena kesehatannya yang labil. Aku tidak tahu apakah itu masalah psikis atau masalah fisiknya. Dia hanya mampu menghidupkan impiannya saat itu dengan cara ber-ada-nya. Dia selalu menemani kami dalam belajar mengenal Pencipta, Sang pemberi waktu. Kesetiaanya tidak pernah luntur untuk menemani kami dalam belajar mengenal besarnya bola bumi dan ketulusannya untuk menata masa depan kami tak pernah dicoret oleh kelamnya kondisi fisik. Dia selalu menunjukan dia apa adanya sambil berpasrah pada “GURU”-nya. Belajar dan berjalan, belajar untuk berjalan dan berjalan sambil belajar adalah kiat utama yang ditanamkan sang ayah dan ibu dalam petualanganku.
Ku tutup hari itu dengan “Sembah-yang” kuasa. Hal itu ku buat bukan karena kemauanku sendiri tapi atas mandat sang ayah dan ibu. Mereka meretas jalan kami menuju Tuhan mereka. Pencarian akan Sang Khalik dalam usiaku yang sangat dini dimulai ketika keluargaku berujar “Oremos-Let’s pray” disaat sinar bercahaya merekah dan dikala senja menutup selubung suci sang bumi. Sejak saat itu aku mengenal Tuhannya sang bapak dan ibu dan aku bersyukur karena aku dituntun untuk ke jalan itu.
Ku tutup hari itu dengan “Sembah-yang” kuasa. Hal itu ku buat bukan karena kemauanku sendiri tapi atas mandat sang ayah dan ibu. Mereka meretas jalan kami menuju Tuhan mereka. Pencarian akan Sang Khalik dalam usiaku yang sangat dini dimulai ketika keluargaku berujar “Oremos-Let’s pray” disaat sinar bercahaya merekah dan dikala senja menutup selubung suci sang bumi. Sejak saat itu aku mengenal Tuhannya sang bapak dan ibu dan aku bersyukur karena aku dituntun untuk ke jalan itu.
Aku terus berjalan dalam terang “Dia” yang orang tuaku perkenalkan ketika aku berumur setahun jagung dalam hidup. Itulah dasar pijakanku dan cahaya itulah yang terus menyemangatiku untuk selalu meretas jalan baru yang asing dan penuh liku. Cahaya itu sungguh dasyat dan terlampau kuat sampai suatu waktu, ketika aku berada di tebing waktu, aku mampu memutuskan untuk terus melangkah maju atau terpaksa berhenti dan perlahan mundur....(I)
2 comentários:
Di'a tu'ung kisah dite hitu e tuang...kenang masa koe agu ise kraeng tu'a one...Memang e,Iman yang ditanam dan diberi pupuk yang pas sejak kecil akan tumbuh dan berkembang seperti benih yang jatuh di tanah yang subur...Jadinya seperti Tuang sekarang ini...Salut untuk Papa dan Mama di kampung, juga u Tuang....
Trims e kraeng Ansi. Salam sukses. untuk ite. Nanti sya kunjung ke blogmu juga.
Enviar um comentário