quarta-feira, 28 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (3)


....Belajar untuk Berjalan

Juli, 1986


Perhatian mereka itu terlampau kuat sampai kasih yang mereka bagikan itu mampu melunturkan kesanku akan sulitnya hidup. Waktu terus bergulir seiring dengan pertumbuhanku yang membekas bumi dan menandai alam. Juli, ’85, awal dari tahap ke dua waktu dalam setahun mengukir sejarah dalam kalbuku. Ku dengar seruan angin yang datang dari arah ibuku yang mengatakan bahwa cerita lembaran kusam hasil coretan tangan adalah modal untuk berjalan. Aku tak mengerti maksudnya karena susunan otak kanan dan kiriku barangkali belum terlalu sempurna untuk memahami semuanya itu. Belajar untuk berjalan. Sejak aku mulai mengerti bahasa manusia, logikaku mulai bertutur bahwa untuk berjalan tidak perlu belajar karena waktu toh akan berbicara. Tetapi ternyata maksudnya supaya aku berjalan bukan sekedar jalan dan menepis waktu sambil membekasi bumi, bukan juga sekedar belajar menghitung jumlah bintang dan kuatnya potensi angin tetapi supaya lembaran hidup yang dibuka setiap hari itu punya cerita tersendiri, agar coretan nubari yang di rangkai bernapas kasih dan supaya celoteh hati mampu menepis muramnya waktu. Aku terus berusaha berpikir untuk memahami bahasa waktu dan alam dan terkadang aku menghidupi gaya eksis ayahku yang rada meditatif.

Tenagaku terkuras oleh cara nalarku, pikiranku terbagi oleh dua gaya yang berbeda. Aku berada diantara dua mental yang berbeda, atau menuruti logika hidup ayah dan ibuku, atau bertapak searah dengan perkembangan fisik dan psikisku. Saya tidak ingat apakah aku mengalami stress kala itu karena berada diluar diriku, tapi satu hal yang masih segar dalam ingatanku ialah bahwa aku bahagia karena dituntun, dan bergembira karena ada mercusuar yang menerangi arah nalarku. Aku terus menelusuri maksud bapak dan ibu. Belajar untuk berjalan. Ku coba membandingkan maksudnya dengan bahasa yang dikenal oleh orang kebanyakan, “makan untuk hidup’. Kuparalelkan intinya, hidup bukan sekedar hidup dan hidup bukan sekedar bernapas, tetapi hidup yang berkualitas yang mencakupi segala lini sisinya. Juga makan bukan sekedar ada, tidak juga tergantung pada kuantitasnya tetapi yang dipertontonkan ialah gizinya yang bisa menstransformasi dan menormalisasikan struktur tubuh. Caraku untuk mengerti maksud orang tuaku!: Belajar untuk berjalan.

Aku sungguh berada dalam pertautan psikis. Juli, bulan yang mengukir bentuk kepribadianku, dan waktu dalam skala tahunan untuk menaruh segala harapan akan dimulainya tahun ajaran baru untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, mengingatkan aku kembali pada kiat ayah dan ibuku. Belajar supaya aku bisa berjalan selayaknya. Belajar untuk aku bisa menata bumi dan belajar agar aku bisa membagi waktu untuk “Kekasih”-ku, untuk kembara kelana yang berjejal di tebing waktu dan untuk diriku sendiri yang sedang mencari identitasku. Aku masih berada ditahun ke dua Sekolah Dasar pada Sekolah Dasar yang didirikan seturut Instruksi Presiden yang bertempat di Golowelu II (Ibu kota kecamatan di kabupaten tetanggaku), tempat aku menghabiskan masa kecilku. Terlalu dini aku memikirkan semuanya itu. Tetapi apakah usia selamanya menentukan cara berpikir anak manusia?. Atau, apakah cara berpikir tergantung pada usia?.
Dalam petualanganku bersama mereka yang nyasar dijalanku, sampai saat aku mencoret kisah ini, aku menemukan bahwa begitu dan terlalu banyak insan yang mencapai usia dewasa tetapi masih memiliki cara berpikir inferior, masih dikuasai oleh afeksi yang labil dan sering terbawa oleh emosi yang tak terkendali. Disini kutelusuri maksud kiat sang bapak dan ibu agar aku berjalan atas dasar apa yang ku pelajari atau supaya aku belajar agar bisa menata langkah di setiap ruang bumi yang hendak ku telusuri...(3)

2 comentários:

Ansi Firman disse...

Masih bersambung kan..? Menarik untuk mengikutinya sampai habis....

Flori Jaling disse...

Io kraeng. masih bersambung dan nanti akan kraeng temukan kisah pertemuan kita di Surabaya tahun 2001,