quinta-feira, 27 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (9)

..........Kembali untuk pergi


Setiap waktu ada ujungnya dan setiap kesempatan ada batasnya. Ujung dan batasnya sebuah waktu dan kesempatan sebenarnya bukan kodrat mereka, tetapi karena alam dan manusialah yang memisahkan dan membedakannnya. Waktu yang diberikan kepadaku untuk menemukan jejak yang pernah hilang diantara kepingan waktu juga sudah berkahir. Aku harus kembali untuk terus bertualang, dan kembali untuk terus pergi mencari makna sebuah kehidupan yang sudah dimulai. Hari itu, Sabtu, 29 September, dalam siklus waktu yang masih sama, yang orang namakan 1990, aku melepaskan rangkuman orang tua dan tidak membiarkan diri dininabobokan oleh dekapan kasih seorang ibu. Maksudku bukan untuk tidak mau dicintai, malah sebaliknya, ingin aku mendirikan kemah dibalik dinding kasih mereka, karena betapa bahagianya berada ditempat itu bersama mereka. Akan tetapi, naluri seorang kembara terus berceloteh agar tidak membiarkan diri digenggam oleh hidup tanpa makna. Kasih dan cinta yang diterima sebenarnya bukanlah bumbu ideal untuk memaknai hidup, cetusku!, tetapi itu hanyalah spirit yang menguatkan seorang kembara untuk terus berlangkah. Dalam rentang waktu tiga hari berada bersama orang tua, hidupku disirami oleh dua bumbu desa ini, kasih dan cinta, dan itu sudah cukup, untuk saya memulai lagi petualangan dengan semangat yang baru.

Aku beralih langkah, dan pergi untuk kembali menempatkan kaki di lembah Kuwu. Siang itu, ketika bumi merintih lantaran panasnya matahari, aku beranjak pisah, sambil berniat untuk bertemu kembali dengan teman kembara yang kulepaskan selama tiga hari. Kali ini aku melepaskan jabat erat seorang ayah dengan hati yang tegar, dan menepis rangkulan kasih seorang ibu dengan kesadaran akan keharusanku untuk terus menata masa depan. Aku tiba dihari yang sama di kuwu. Kusaksikan kebahagian sahabat-sahabatku dan kunikmati gelak tawa masing-masing mereka. Aku sungguh menghidupi pengalaman bahagia mereka, karena aku juga meraih cinta yang sama dari orang tuaku. Di sela-sela kegembiraan itu, tentu ada kerinduan untuk kembali dan terus menetap ditengah keluarga. Saat itu, akupun memiliki kecendruangan untuk kembali sambil membangunkan tenda di balik dinding kasih orang tua, aku dikuatkan oleh keputuasan sang KEKASIH, Mestre dan Pendidik utama keluargaku, yang mana Dia, Jesus, tidak mengizinkan murid-muridnya untuk membangunkan tiga tenda saat mereka berbahagia berada bersama-Nya. Alasan-Nya ialah bukan karena Dia tidak suka tempat itu, gunung Tabor di mana mereka berada, bukan juga karena tidak suka dengan permintaan murid-murid-Nya, akan tetapi, karena Dia mau supaya murid-murid-Nya itu pergi, dan membagikan kebahagiaan mereka itu kepada orang yang berada dilembah Tabor.

Aku terbawa oleh kisah ini. Karena itu, aku berani pergi dan perlahan meninggalkan keingianku itu. Ku urung niat untuk membangun tenda bersama orang tua dan pergi sambil mengenakan kasut kusam untuk terus menjelajah mencari sudut bola bumi. Impianku yang irealistis. Aku terus berlangkah pada jalanku. Kali ini aku tidak bertualang sendirian, juga tidak merasa asing dengan alam dan sahabat, karena aku sudah mengenal beberapa lagi dari mereka. Ku jumpai lagi dua sahabat lamaku, Ansi dan Alfons. Bersama merekalah aku bebas bertutur, dan dengan merekalah aku terus berlangkah. Kami bersatu bukan dalam segala hal, tetapi kami hanya memadukan niat dan prinsip yang sama. Berjalan sambil menebar harapan, merajut masa depan sambil mengais kasih sang KEKASIH yang kami imani. Niatku untuk pergi dan terus pergi tidak pernah pudar oleh kelamnya waktu diakhir hari itu. Aku sungguh dikuatkan oleh kisah sang Guru-ku yang tidak membiarkan murid-muridnya membangun tenda di tempat dimana mereka merasa aman dan bahagia. Tantangan yang menarik untuk saya terus pergi menuju pencarian yang bermakna. ...(9)

segunda-feira, 24 de maio de 2010

Lagi-lagi tenggelam dalam kesibukan, sampai lupa untuk melanjutkan gagasan ini. Aku berjanji untuk kembali. Banyak kisah yang patut disharingkan dan ada kasih yang perlu dirasakan. semuanya akan ku bagikan kepadamu semua. Nantikan aku dengan sabar dan setia.

sexta-feira, 7 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (8)

.....Melepas kelelahan, menata strategi


Di ujung sebuah waktu, di hari yang sama aku tiba di pangkuan ibu kelahiranku, kampung sunyi, dusun yang tak gemerlap dan rumah yang jelata. Ku tapak kembali dia dengan wajah yang baru, dengan hati yang tetap sederhana dan dengan kerinduan yang tak bertepi. Aku membekasi kembali jejak yang pernah hilang diantara kepingan waktu. Sore itu, September, 26, aku terhanyut dalam kasih sang ibu dan terbawa oleh tawa bahagia sang bapa. Sungguh bahagia!. Ku terima salam hangat dari anggota rumah, ku sambut senyum bahagia dari sahabat tetangga dan ku gayung makna kehidupan dari ibu bumi. Ditengah rangkulan penuh kasih dan di balik jendela jiwa, naluriku sebagai petualang mengingatkan aku agar segera melepaskan diri dari rangkualan itu. Aku menuruti suara itu karena argumennya sangat sederhana, tetapi masuk di akal, yakni supaya aku tidak terbiasa dan tidak terbius dengan semuanya itu, karena seorang petualang harus menunjukan keperkasaannya. Setelah ku simak maksudnya ternyata ada jawaban yang sedang menanti. Katanya, keunggulan seorang kembara bukan terletak pada jumlah orang yang mengasihinya, tidak juga diukur dari berapa banyak rangkulan kasih yang diterima, tetapi tergantung pada kemampuan untuk mengasihi, memberi dan berada bersama dengan setiap mereka yang dijumpai dijalannya. Aku belum terlalu mengerti maksudnya karena usiaku masih dalam fase perkembangan yang mana manusia masih membutuhkan kasih sayang.

Taat terhadap suara itu dan setia mengikuti indikasi ilahi, aku perlahan melepaskan rangkulan itu dan mulai duduk sambil bercerita tentang perjalananku yang belum terlalu lama. Dengan rasa ingin tahunya yang sangat besar, ayah mulai bertanya tetang jalan yang sedang kutelusuri, tentang ruang dimana saya meletakan kepala, dan tentang waktu dimana saya bernafas. Sementara ibu, sambil menatap iba, dengan air mata kasih, mempertanyakan tingkahku dalam hubungan dengan makan dan gizi. Aku kurus dan bermuka pucat. Ingin kuceritakan semuanya tentang duka seorang petualang di lembah Kuwu, tapi aku malu pada diriku sendiri, tidak mau mencemaskan mereka, takut kepada alam dan setia menuruti bisikan nurani. Rasa iba bercampur curiga sang ibu berawal dari kesan lamanya tentang diriku yang lazim kurang akrab dengan setiap santapan dan kurang berminat dengan setiap hidangan. Aku tak mau bersaksi sebagaimana adanya karena aku masih mencintai jalan itu. Aku sendiri kurang ingat kenapa saat itu ingin kembali bertualang di tempat yang sama, pada hal medanya kurang menyenangkan. Satu hal yang masih segar dalam ingatanku bahwa tempat itu, Sint Klaus School, cukup favorit di wilayahku, indah alamnya, sunyi tempatnya dan berkualitas pendidikan kembaranya. Orang tuaku pun tak pernah izinkan aku untuk mengalih haluanku. Ada kecocokan antara niatku dan keinginan orang tuaku. Ingin aku ceritakan kegetiran perjalanan itu, tapi aku masih memiliki kebijaksanaan, sembari mencari makna dibalik duri dan mengintip pelangi dibalik awan.

Malam semakin larut dan aku pamit sambil mengucapkan “good night-Boa noíte”, kemudian pergi meletakan kepala diatas bantal yang ibu pernah berikan sebelum aku keluar dari rumah itu. Aku terlelap diatas kelembutan bantal tempat manusia meletakan kepala. Lembut bukan karena padatnya kapas yang mengisi kekosongan, tetapi karena dia disiap oleh tangah kasih dengan hati bening seorang ibu yang mencintai buah hatinya. Lama aku tak merasakan itu dan inginnya terus tidur sampai sinar redup kembali. Aku cendrung mengikuti kata hati, namun naluri seorang kembara terus mengontrol dan bertutur agar tidak membiarkan diri dikuasasi oleh keinginan daging. Malam berlalu dan mentari merekah lagi seolah-olah mau membangunkan anak manusia yang lelap tertidur. Sulit bagiku untuk mengikuti gaya hidup lama. Saat itu aku baru sadar kalau hidup itu berubah, kalau waktu dan ruang bisa mengubah tingkah, kalau perjalanan menguak tabir kehidupan, kalau aku berwajah lain dan kalau bumi bersaksi setia. Aku diam dan beristirahat secara fisik namun jiwaku terus bergetar dan naluriku terus berjalan sambil memulihkan tenaga yang terkuras dan menyusun strategi baru untuk perjalanan berikutnya. Strategi kali ini sangat sederhana yakni melepas kenyamanan dan pergi bermain api, menepis ego dan pergi merajut waktu. Liburan pertamaku itu sungguh mengesankan sekaligus menyenangkan. Ada kecendrungan untuk bertutur, ada kemauan untuk bercerita dan ada keinginan untuk tinggal dan terus menetap. Namun apakah aku harus mengikuti keinginan daging?. Maksud petualanganku ialah bukan untuk menyangkal kalau aku dan manusia lain adalah berdaging lemah, paling tidak ada semangat untuk berjuang melawan kelemahan daging dan membiarkan diri dituntun oleh Roh. ...(8)

STILLNESS OF HEART - PAZ NO CORAÇÃO


I'm out here on the street

(Estou aqui na rua)

-Saya berada di sini, di jalan

There's no one left to meet

(Não há niguém para encontrar)

-Tak ada seorangpun untuk bertemu

The things that were so sweet

(Aquilo que era tão doce)

- Yang manis itu

No longer move my feet

(Já não me faz mexer)

- Sudah tidak lagi membuat aku bergerak

But I keep trying

(Mas continuo a tentar)

- Tetapi saya terus mencoba

I keep on trying

(Continuo a tentar)

- dan terus mencoba


I've got more than I can eat

(Tenho mais do que posso comer)

- Aku mempunyai lebih dari apa yang saya bisa makan

A life that can't be beat

(Uma vida que não pode ser melhor)

- Sebuah kehidupan yang tidak bisa lebih baik

Yet still I feel this heat

(Mas sinto este calor)

- Tetapi saya merasakan panas ini

I'm feeling incomplete

(Sinto-me incomplete)

- Saya merasakan tidak sempurna

What am I buying?

(O que compro?)

- Apa yang saya beli?

My soul is crying

(A minha alma chora)

- Jiwaku menangis


All that I want

(Tudo o que quero)

- Semua yang ku inginkan

Is stillness of heart

(É paz no coração)

- Adalah kedamaian dalam hati

So I can start

(Para que posa começar)

- Supaya aku bisa memulai

To find my way

(a encontrar o meu caminho)

- Untuk menemukan jalanku

Out of the dark

(Longe desta escuridão)

- Jauh dari kegalapan ini

And into your heart

( E para dentro do coração)

- dan kedalam hatiku


Wher's the love?

(Onde está o amor?)

- Di manakah cinta?

What is this world we live in?

(Que mundo é este onde vivemos?)

- Dunia macam apakah tempat tinggal kita ini?

Wher's the love?

(Onde está o amor?)

-Di manakah kasih?

We've got to keep on giving

(Temos de continuar a dar)

-Kita harus terus memberi

Where's the love?

(Onde está o amor?)

- Dimanakah cinta?

What Happened to forgiving? anyone?

(O que aconteceu ao perdão? Alguém?)

- Apa yang terjadi dengan pengampunan? seseorang?


quinta-feira, 6 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (7)

......Pulang untuk kembali

September ‘90

September tiba pada waktunya dan datang pada musimnya. Harapan untuk kembali menapaki jejak yang lama ditinggalkan semakin membara. Aku hampir kehilangan naluri kesabaran, tat kala ku rasa waktu enggan bergulir dan hari sulit untuk berlangkah. Aku bertanya apakah sang waktu yang bermasalah dan hari yang tak mau beralih, ataukah memang karena aku yang tak tahu memaknai kehadiran mereka dalam hidup?. Saat merangkai penggalan pengalaman ini, aku teringat kata orang bijak yang setia menghargai waktu dan tekun menghayati hidup dengan pekerjaan. “Kalau kita mengisi waktu dengan pekerjaan dan pandai menghitung hari dengan kebajikan, pasti waktu terasa singkat dan hari terasa pendek”. Aku terus menanti hari dan menunggu waktu yang berahmat itu.

Belahan waktu, yang orang namakan 26 September sudah mendekat. Aku dan sahabat-sahabatku sudah mulai tertawa ria karena tak lama lagi kami harus menapakai kembali tapak kami masing-masing yang lama ditinggalkan dan hampir pudar. Waktu berahmat yang sebenarnya bagi anak-anak yang sedang ‘menyusu’ pada ibu Sint Klaus School ialah 25 September, karena dia merayakan pesta pelindungnya, Santu Klaus, Orang kudus Allah, model kesucian manusia, darah kelahiran Swiss, pertapa yang menghabiskan masa tuanya di lembah pegungungan di negri benua putih itu. Namun, fokus perhatianku waktu itu bukan Manusia model kesucian itu, bukan juga KEKASIH sumber kekukudusan sejati, tetapi kerinduan untuk pulang membekasi tapak yang hampir beranjak, dan merangkul kembali mereka, bapak dan ibu, pendidik iman, harap dan kasih. Aku pulang bukan untuk menetap, pulang bukan karena putus asa, tetapi pulang untuk menyusun kembali langkah yang kaku sambil menata strategi baru untuk bisa memulai lagi petualangan dengan kaki, tenaga dan keringatku sendiri.

Hari yang dinantikan sudah tiba. Hari itu, Rabu 26 September, ketika matahari mulai merekah dan alam, yang sebagaimana lazimnya menyajikan kesegaran dengan angin sepoi basah yang datang dari arah gunung “Golo Lusa”, aku bergegas mencari jejak yang pernah kutinggalkan. Aku tidak pulang begitu saja tanpa pamit, tetapi kudapatkan sahabat-sahabatku yang telah kujaring dalam rentang waktu kurang lebih tiga bulan. Banyak wajah yang membekas dan sahabat yang menata hidupku pada bulan-bulan pertama. Yang masih segar dalam ingatanku dan yang membekas dalam nubariku sampai aku menulis kisah ini ialah mereka yang namanya Frans Firman yang dulu biasa ku sapa Ansi dan Alfons Jehadut. Keduanya sudah lama kehilangan jejak dari pelupuk indraku. Dua nama dan wajah yang berbeda ini adalah mereka yang ku kenal sejak pekan pertama dimana aku memulai merajut sejarah baru di lembah Kuwu. Saya sendiripun tidak ingat persis bagaimana kisah pertemuan kami pada hari-hari pertama. Tetapi yang masih segar dalam ingatanku ialah sahabat yang kupanggil Ansi itu adalah teman sekelasku selama empat tahun, dan Alfons, yang meski dikelas berbeda tetapi aku mengenalnya karena kami datang dari arah yang sama. Sejauh ingatanku, kedua sahabat ini adalah mereka yang mempunyai prinsip hidup yang hampir sama dengan aku. Selama enam tahun kami mengukir sejarah yang sama dalam dekapan Santu pelindung sekolah, Santu Klaus, model kesucian manusia. Sebelum aku beranjak, aku mendapatkan kedua sahabatku ini sekedar untuk melepaskan kata pisah sambil berucap “Adeus, see you again”....(7)

quarta-feira, 5 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (6)

.....Mengosongkan diri dan pergi

Senin, Juli 16. 1990. Kuwu terbungkus dingin oleh hukumnya alam. Aku kedinginan bukan saja karena angin pagi yang dingin tak berbasah, bukan juga karena merasa sendiri dan ditinggalkan oleh orang tua, tetapi karena merasa asing berada diantara mereka yang tak pernah ku kenal. Petualanganku yang sesungguhnya hendak dimulai. Awalnya aku cendrung berdiam diri dan terus menetap dalam ego dan kesendirianku. Ku tapaki hari itu dengan hati tak berisi dan dengan kasut yang tak berwarna. Enggan untuk membuka jendela jiwaku. Namun tubuh tak mampu menahan jeritan jiwa. Aku terganggu oleh suara bisik naluriku sendiri yang bertanya “bagaimana harus keluar dari diriku sendiri dan pergi menjumpai mereka?”. Sulit dan sulit. Keinginanku ialah menutup jendela jiwa dan tidur dalam kesenyapanku, namun ternyata Cahaya Mentari jauh lebih kuat dari kelamnya malam sang jiwa. Aku bergulat dengan perasaan dan berjuang melawan ketakutanku. Ku coba dekati mereka dengan caraku sambil menebar harapan akan datangnya rahmat dalam diri sahabat. Inginnya saat itu segera kembali ke rumah orang tuaku, karena disana aku telah menjaring kasih yang tak terbagi dan sahabat yang penuh makna. Namun wajah mereka terus datang dalam bayangan sambil mengualangi syair suci “Guru” mereka yang pernah berujar kepada murid-murid-Nya agar “berlayar ke tempat yang lebih dalam lagi”. Perjuanganku itu memakan waktu. Aku terus berusaha mengais kasih diantara gersangnya relasi pada hari pertama.
Hidupku terus ditandai dengan keraguan dan penuh tanya sambil berdesus apakah mereka membutuhkan aku dalam bahtera mereka. Inilah ciri khas awal kepribadianku yakni kurang yakin dengan diri sendiri. Waktu terus berputar dan hari terus berlalu. Pergulatan emosi mewarnai langkah awalku saat itu sampai suatu ketika merasa bahwa ternyata aku tidak saja berguna untuk mereka tetapi lebih dari itu ialah mereka membutuhkan aku. Aku sendiri tak mengerti, apa yang mereka butuhkan dari diriku, tapi saya yakin aku berguna karena bisa menemani mereka dalam kesendirian masing-masing mereka. Perahu memang bisa laju dengan dayungan seorang diri, tetapi sangat lamban. Jauh lebih cepat jalanya bila aku menemani mereka dan bila mereka menemani aku dalam mendayungnya, apalagi kalau ombak datang dengan keganasannya, ujarku dalam kesendirianku.

Aku terus bergulat sampai terkadang menguras tenaga dan menyita banyak waktu. Tidak pernah takut dengan kehilangan waktu dan tak pernah enggan untuk bertanya kepada alam apakah hidupku saat itu bermakna. Hanya satu ketakutanku ialah kehilangan jejak dan kegagalan meraih hidup. Karena itu aku rela mengosongkan diri dan pergi, membiarkan kalbu disentuh dan dituntun oleh ‘KEKASIH’-ku dan merelakan ‘alma’ dibajak oleh pengalaman dan dijamah oleh naluri alam dan manusia. ...(6)


Inilah wajah negri Portugal di musim semi. saksikan karya Sang Pencipta dalam alam yang indah dan dalam bunga yang tak ditanam oleh manusia. Menurut istilah orang setempat, alam yang indah dan bunga yang subur seperti ini hanya bisa ditanam dan disemaikan oleh tangan malaikat.

terça-feira, 4 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (5)

-II-
...ANTARA RUMAH DAN COLEGIO,
ANTARA WELA DAN SINT KLAUS SCHOOL

Juli, 1990

Sabtu, 14.07. 1990. Aku meninggalkan rumah orang tuaku. Ku lepaskan mereka satu per satu dan ku tanggalkan seragam nasional merah putih untuk digantikan dengan seragam putih biru. Sulit rasanya tinggalkan jejak lama. Yang paling membebankan aku saat itu bukan hidup baru yang bakal aku hidupi, bukan juga kantongan barang yang hendak ku pikul dan tidak juga sahabat sebayaku yang aku lepaskan dihalaman rumahku, tetapi, aku merasa kehilangan dekapan sang ibu dan jabatan erat sang ayah yang melegahkan aku. Ketika aku membuka kembali diariku yang mengisahkan perpisahan pertamaku ini, aku dililiti oleh rasa bingung bercampur heran sekaligus benci bercampur iri pada orang tuaku. Bingung, karena tidak memahami akan kemampuanku saat itu untuk melepaskan mereka. Benci bercorak iri, karena mereka merelakan untuk tidak merangkul dan “menyusui” aku lagi. Sempat terlintas dalam bayanganku dan malah aku berceloteh dengan diriku sendiri kalau mereka berhenti mencintai aku. Ternyata alam menyapa dan bumi mendengar hasutan jiwa, segera menjawab dan memuaskan aku dengan memperdengarkan kembali niat orang tuaku untuk meretas jalan hidupku sendiri. Aku terlalu muda untuk mengerti semuanya. Maklum, aku baru berumur empat belas tahun, usia dimana manusia memulai fase baru dalam kehidupan biologisnya.

Ku telurusi jalan sepanjang kampungku yang era itu belum teraspal. Ku bekasi dia dengan tapak yang berkasut setengah kusam, dan ku tandai dengan air mata kerinduan. Aku berada dipersimpangan emosi. Atau meratap karena aku harus keluar atau ikut bergembira karena bebas dari kontrol bapak dan bunda. Ingin rasanya aku melantunkan lagu ”Don’t cry for me Argentina” dengan gubahan syair “Don’t cry for me Wela”. Tapi ku urung niatku oleh air mata ibuku yang meratapi kepergianku. Sebenarnya aku bukan pergi untuk selamanya, juga bukan meraih pulau asing yang terletak nan jauh dari pandangan. Aku hanya berubah ruang untuk menetap dan melewati waktu untuk mengukur kerinduan, karena jarak antara kampung kelahiranku dengan Kuwu, tempat letaknya Sint Klaus school tidak seberapa. Ku isi hari itu dengan kalbu yang muram tat kala ibu menandai bumi dengan air mata. Sulit untuk menebak perasaan ayahku. Tapi aku yakin, dalam kesunyiannya ia merelakan aku untuk pergi karena toh itu niatnya. Pergi untuk meretas jalanku sendiri. Ayahku, seperti biasa, setia mendampingiku. Ia menemani aku sampai ke tempatku yang baru. Kuwu tanah yang menjanjikan cinta.
Waktu sudah menunjukan pukul 15.00 Wita. Sang ayah perlahan meninggalkan aku dan tanganya terulur untuk melepaspisahkan aku. Dia harus kembali ke rumahnya untuk mendampingi ibu dan saudara-saudariku yang saat itu masih kecil, sambil menata hidupku dari jauh. Kelihatannya dia kuat melepaskan aku dan rela tak memandang aku dalam sepenggal waktu. Ayah berbalik wajah dan akupun beralih langkah. Kutemui wajah baru yang tak pernah ku kenal. Sulit bagiku untuk menerima semuanya itu. Tapi suara yang satu itu terus menuntunku. Kali itu aku terpaksa memulai hidupku yang baru bersama wajah yang asing dengan keinginan yang mendalam untuk menjaring banyak sahabat....(5)

33 tahun sudah berlalu. Aku membekas bumi dengan penuh pertanyaan apakah aku bermakna bagi bumi. Rasanya aku baru dilahirkan kemarin tanggal 3 mei 2010. Para sahabat dan "KEKASIHKU" mengatakan kalau aku bukan saja berharga dimata dunia tetapi lebih dari itu aku dibutuhkan dunia. Syukur untuk-Mu sang pemberi hidup dan waktu. Engkau perkenankan aku untuk meretas hidup sehari lagi. Kalau boleh, izinkan aku untuk menikmati hidup seabad lagi karena terlalu indah bagiku rencana-Mu dan terlalu bahagianya aku menyambut waktu yang baru ini. Terima kasih juga untuk semua mereka yang ikut bergembira bersama aku dihari kemarin. Syukur juga untukmu semua yang mengirim bingikisan salam buat kemeriahan hari kemarin. Tuhan memberkatimu.