quinta-feira, 6 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (7)

......Pulang untuk kembali

September ‘90

September tiba pada waktunya dan datang pada musimnya. Harapan untuk kembali menapaki jejak yang lama ditinggalkan semakin membara. Aku hampir kehilangan naluri kesabaran, tat kala ku rasa waktu enggan bergulir dan hari sulit untuk berlangkah. Aku bertanya apakah sang waktu yang bermasalah dan hari yang tak mau beralih, ataukah memang karena aku yang tak tahu memaknai kehadiran mereka dalam hidup?. Saat merangkai penggalan pengalaman ini, aku teringat kata orang bijak yang setia menghargai waktu dan tekun menghayati hidup dengan pekerjaan. “Kalau kita mengisi waktu dengan pekerjaan dan pandai menghitung hari dengan kebajikan, pasti waktu terasa singkat dan hari terasa pendek”. Aku terus menanti hari dan menunggu waktu yang berahmat itu.

Belahan waktu, yang orang namakan 26 September sudah mendekat. Aku dan sahabat-sahabatku sudah mulai tertawa ria karena tak lama lagi kami harus menapakai kembali tapak kami masing-masing yang lama ditinggalkan dan hampir pudar. Waktu berahmat yang sebenarnya bagi anak-anak yang sedang ‘menyusu’ pada ibu Sint Klaus School ialah 25 September, karena dia merayakan pesta pelindungnya, Santu Klaus, Orang kudus Allah, model kesucian manusia, darah kelahiran Swiss, pertapa yang menghabiskan masa tuanya di lembah pegungungan di negri benua putih itu. Namun, fokus perhatianku waktu itu bukan Manusia model kesucian itu, bukan juga KEKASIH sumber kekukudusan sejati, tetapi kerinduan untuk pulang membekasi tapak yang hampir beranjak, dan merangkul kembali mereka, bapak dan ibu, pendidik iman, harap dan kasih. Aku pulang bukan untuk menetap, pulang bukan karena putus asa, tetapi pulang untuk menyusun kembali langkah yang kaku sambil menata strategi baru untuk bisa memulai lagi petualangan dengan kaki, tenaga dan keringatku sendiri.

Hari yang dinantikan sudah tiba. Hari itu, Rabu 26 September, ketika matahari mulai merekah dan alam, yang sebagaimana lazimnya menyajikan kesegaran dengan angin sepoi basah yang datang dari arah gunung “Golo Lusa”, aku bergegas mencari jejak yang pernah kutinggalkan. Aku tidak pulang begitu saja tanpa pamit, tetapi kudapatkan sahabat-sahabatku yang telah kujaring dalam rentang waktu kurang lebih tiga bulan. Banyak wajah yang membekas dan sahabat yang menata hidupku pada bulan-bulan pertama. Yang masih segar dalam ingatanku dan yang membekas dalam nubariku sampai aku menulis kisah ini ialah mereka yang namanya Frans Firman yang dulu biasa ku sapa Ansi dan Alfons Jehadut. Keduanya sudah lama kehilangan jejak dari pelupuk indraku. Dua nama dan wajah yang berbeda ini adalah mereka yang ku kenal sejak pekan pertama dimana aku memulai merajut sejarah baru di lembah Kuwu. Saya sendiripun tidak ingat persis bagaimana kisah pertemuan kami pada hari-hari pertama. Tetapi yang masih segar dalam ingatanku ialah sahabat yang kupanggil Ansi itu adalah teman sekelasku selama empat tahun, dan Alfons, yang meski dikelas berbeda tetapi aku mengenalnya karena kami datang dari arah yang sama. Sejauh ingatanku, kedua sahabat ini adalah mereka yang mempunyai prinsip hidup yang hampir sama dengan aku. Selama enam tahun kami mengukir sejarah yang sama dalam dekapan Santu pelindung sekolah, Santu Klaus, model kesucian manusia. Sebelum aku beranjak, aku mendapatkan kedua sahabatku ini sekedar untuk melepaskan kata pisah sambil berucap “Adeus, see you again”....(7)

3 comentários:

Ansi Firman disse...

Terima kasih Tuang..masih ingat saya dalam ziarah hidup yg sangat menarik u sll diikuti ini..Pisa leso nais libur pesta St Klaus hitu danong ge ta..? satu minggu e?

Flori Jaling disse...

Toe kraeng, liburan itu dulu cuman 3 hari. Tetapi lumayan haaaaaaaaa

Ansi Firman disse...

oh iya ya...hemong laku e..3 hari yg sangat berkesan..eme nuk laku e..hari2 pertama di asrama, do kete retang eme poli hang leso..selain nuk mbaru juga menangis menahan lapar..meski baru selesai makan siang rupanya lambung belum terisi penuh karena porsinya sgt sedikit...