Juli, 1990
Sabtu, 14.07. 1990. Aku meninggalkan rumah orang tuaku. Ku lepaskan mereka satu per satu dan ku tanggalkan seragam nasional merah putih untuk digantikan dengan seragam putih biru. Sulit rasanya tinggalkan jejak lama. Yang paling membebankan aku saat itu bukan hidup baru yang bakal aku hidupi, bukan juga kantongan barang yang hendak ku pikul dan tidak juga sahabat sebayaku yang aku lepaskan dihalaman rumahku, tetapi, aku merasa kehilangan dekapan sang ibu dan jabatan erat sang ayah yang melegahkan aku. Ketika aku membuka kembali diariku yang mengisahkan perpisahan pertamaku ini, aku dililiti oleh rasa bingung bercampur heran sekaligus benci bercampur iri pada orang tuaku. Bingung, karena tidak memahami akan kemampuanku saat itu untuk melepaskan mereka. Benci bercorak iri, karena mereka merelakan untuk tidak merangkul dan “menyusui” aku lagi. Sempat terlintas dalam bayanganku dan malah aku berceloteh dengan diriku sendiri kalau mereka berhenti mencintai aku. Ternyata alam menyapa dan bumi mendengar hasutan jiwa, segera menjawab dan memuaskan aku dengan memperdengarkan kembali niat orang tuaku untuk meretas jalan hidupku sendiri. Aku terlalu muda untuk mengerti semuanya. Maklum, aku baru berumur empat belas tahun, usia dimana manusia memulai fase baru dalam kehidupan biologisnya.
Ku telurusi jalan sepanjang kampungku yang era itu belum teraspal. Ku bekasi dia dengan tapak yang berkasut setengah kusam, dan ku tandai dengan air mata kerinduan. Aku berada dipersimpangan emosi. Atau meratap karena aku harus keluar atau ikut bergembira karena bebas dari kontrol bapak dan bunda. Ingin rasanya aku melantunkan lagu ”Don’t cry for me Argentina” dengan gubahan syair “Don’t cry for me Wela”. Tapi ku urung niatku oleh air mata ibuku yang meratapi kepergianku. Sebenarnya aku bukan pergi untuk selamanya, juga bukan meraih pulau asing yang terletak nan jauh dari pandangan. Aku hanya berubah ruang untuk menetap dan melewati waktu untuk mengukur kerinduan, karena jarak antara kampung kelahiranku dengan Kuwu, tempat letaknya Sint Klaus school tidak seberapa. Ku isi hari itu dengan kalbu yang muram tat kala ibu menandai bumi dengan air mata. Sulit untuk menebak perasaan ayahku. Tapi aku yakin, dalam kesunyiannya ia merelakan aku untuk pergi karena toh itu niatnya. Pergi untuk meretas jalanku sendiri. Ayahku, seperti biasa, setia mendampingiku. Ia menemani aku sampai ke tempatku yang baru. Kuwu tanah yang menjanjikan cinta.
Waktu sudah menunjukan pukul 15.00 Wita. Sang ayah perlahan meninggalkan aku dan tanganya terulur untuk melepaspisahkan aku. Dia harus kembali ke rumahnya untuk mendampingi ibu dan saudara-saudariku yang saat itu masih kecil, sambil menata hidupku dari jauh. Kelihatannya dia kuat melepaskan aku dan rela tak memandang aku dalam sepenggal waktu. Ayah berbalik wajah dan akupun beralih langkah. Kutemui wajah baru yang tak pernah ku kenal. Sulit bagiku untuk menerima semuanya itu. Tapi suara yang satu itu terus menuntunku. Kali itu aku terpaksa memulai hidupku yang baru bersama wajah yang asing dengan keinginan yang mendalam untuk menjaring banyak sahabat....(5)
2 comentários:
Kisah selanjutnya pasti kehidupan di St.Klaus...Pater ketemu saya..satu kelas kan kita dulu di SMP?
Betul kraeng. Pokoknya kraeng ikut terus haaaaaaaaaaa
Enviar um comentário