Setiap waktu ada ujungnya dan setiap kesempatan ada batasnya. Ujung dan batasnya sebuah waktu dan kesempatan sebenarnya bukan kodrat mereka, tetapi karena alam dan manusialah yang memisahkan dan membedakannnya. Waktu yang diberikan kepadaku untuk menemukan jejak yang pernah hilang diantara kepingan waktu juga sudah berkahir. Aku harus kembali untuk terus bertualang, dan kembali untuk terus pergi mencari makna sebuah kehidupan yang sudah dimulai. Hari itu, Sabtu, 29 September, dalam siklus waktu yang masih sama, yang orang namakan 1990, aku melepaskan rangkuman orang tua dan tidak membiarkan diri dininabobokan oleh dekapan kasih seorang ibu. Maksudku bukan untuk tidak mau dicintai, malah sebaliknya, ingin aku mendirikan kemah dibalik dinding kasih mereka, karena betapa bahagianya berada ditempat itu bersama mereka. Akan tetapi, naluri seorang kembara terus berceloteh agar tidak membiarkan diri digenggam oleh hidup tanpa makna. Kasih dan cinta yang diterima sebenarnya bukanlah bumbu ideal untuk memaknai hidup, cetusku!, tetapi itu hanyalah spirit yang menguatkan seorang kembara untuk terus berlangkah. Dalam rentang waktu tiga hari berada bersama orang tua, hidupku disirami oleh dua bumbu desa ini, kasih dan cinta, dan itu sudah cukup, untuk saya memulai lagi petualangan dengan semangat yang baru.
Aku beralih langkah, dan pergi untuk kembali menempatkan kaki di lembah Kuwu. Siang itu, ketika bumi merintih lantaran panasnya matahari, aku beranjak pisah, sambil berniat untuk bertemu kembali dengan teman kembara yang kulepaskan selama tiga hari. Kali ini aku melepaskan jabat erat seorang ayah dengan hati yang tegar, dan menepis rangkulan kasih seorang ibu dengan kesadaran akan keharusanku untuk terus menata masa depan. Aku tiba dihari yang sama di kuwu. Kusaksikan kebahagian sahabat-sahabatku dan kunikmati gelak tawa masing-masing mereka. Aku sungguh menghidupi pengalaman bahagia mereka, karena aku juga meraih cinta yang sama dari orang tuaku. Di sela-sela kegembiraan itu, tentu ada kerinduan untuk kembali dan terus menetap ditengah keluarga. Saat itu, akupun memiliki kecendruangan untuk kembali sambil membangunkan tenda di balik dinding kasih orang tua, aku dikuatkan oleh keputuasan sang KEKASIH, Mestre dan Pendidik utama keluargaku, yang mana Dia, Jesus, tidak mengizinkan murid-muridnya untuk membangunkan tiga tenda saat mereka berbahagia berada bersama-Nya. Alasan-Nya ialah bukan karena Dia tidak suka tempat itu, gunung Tabor di mana mereka berada, bukan juga karena tidak suka dengan permintaan murid-murid-Nya, akan tetapi, karena Dia mau supaya murid-murid-Nya itu pergi, dan membagikan kebahagiaan mereka itu kepada orang yang berada dilembah Tabor.
Aku terbawa oleh kisah ini. Karena itu, aku berani pergi dan perlahan meninggalkan keingianku itu. Ku urung niat untuk membangun tenda bersama orang tua dan pergi sambil mengenakan kasut kusam untuk terus menjelajah mencari sudut bola bumi. Impianku yang irealistis. Aku terus berlangkah pada jalanku. Kali ini aku tidak bertualang sendirian, juga tidak merasa asing dengan alam dan sahabat, karena aku sudah mengenal beberapa lagi dari mereka. Ku jumpai lagi dua sahabat lamaku, Ansi dan Alfons. Bersama merekalah aku bebas bertutur, dan dengan merekalah aku terus berlangkah. Kami bersatu bukan dalam segala hal, tetapi kami hanya memadukan niat dan prinsip yang sama. Berjalan sambil menebar harapan, merajut masa depan sambil mengais kasih sang KEKASIH yang kami imani. Niatku untuk pergi dan terus pergi tidak pernah pudar oleh kelamnya waktu diakhir hari itu. Aku sungguh dikuatkan oleh kisah sang Guru-ku yang tidak membiarkan murid-muridnya membangun tenda di tempat dimana mereka merasa aman dan bahagia. Tantangan yang menarik untuk saya terus pergi menuju pencarian yang bermakna. ...(9)
Sem comentários:
Enviar um comentário