quinta-feira, 29 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (4)

....Berjalan sambil belajar

Sejak, akhir 1986

Usiaku tak tertinggal oleh berputarnya roda waktu. Akan tetapi, ia terus bergulir dan terus beranjak bersama hembusan angin yang tak akan pernah kembali ke peraduannya. Aku terus berjalan dan semakin mengerti bahasa manusia, semakin insyaf akan isyarat alam dan semakin tertegun dengan indahnya bumi. Sambil berjalan aku menyusun semuanya itu dalam kalbuku yang tak berjendela, menatanya rapi dalam kepingan hati yang tak terbagi. Berjalan sambil belajar adalah motif awal langkahku di belahan waktu’86. Usiaku saat itu berbusana lain. Bahasanyapun berisyarat berbeda. Aku bertingkah dalam konteks anak manusia yang hampir menginjak masa puber. Sembilan tahun sudah berlalu. Ku coba mengevaluasi posisi saya saat itu. Aku tak mengerti struktur tubuhku, kurang insyaf akan keinginannku. Tetapi aku tak pernah diam. Ku coba meluruskan arah pandangku, merapihkan benang hidup yang kusut dan memoles warna daging yang kusam. Aku coba dan terus berjalan dalam cahaya yang orang tuaku pernah perkenalkan, sambil belajar intesitas kekuatannya saat dia mencium kaki bumi, Ku telusuri perputaran waktu, kusimak setiap denyutannya dan ku coba meraih suaranya yang berbicara kepada setiap insan yang bertapak.

Suara kiat sang bapak dan bunda berceloteh lagi. Tak pernah pudar dari memoriku. Kali ini, tahun yang manusia namakan ‘87, suara itu datang dengan gumam yang bernada sedikit serak basah “Berjalan sambil belajar”. Susunan otak kiri dan kananku sekali lagi masih lemah untuk memahaminya. Aku menerjemahkannya secara literal. Kupikir, disaat angin senja menari, ketika bumi menampilkan cahaya remang aku harus membuka catatan hidup, berbicara dengannya, sambil membekas bumi dengan kaki tak berkasut. Ternyata maksud mereka adalah lain. Ku tanyakan kepada sang bintang yang menyaksikan langkahku saat itu, apakah suara bunda dan pasangannya itu berasal dari dunia?. Berjalan sambil belajar. Tekat perdanaku ialah bukan berjalan tapi berlari. Maklum!, dalam usia itu aku sudah menganggap diri matang untuk berlari mengejar waktu. Aku menganggap bahwa aku sudah dewasa untuk memikul sendiri bola bumi yang tak mempunya sudut. Inilah cirikhas anak manusia yang lagi naik darah dan berpuber ria. Saat aku mengukir sejarah ini, aku mulai bernalar, “andaikan saat itu akau berlari dan tidak berjalan tentu aku tidak akan pernah mengerti bahasa alam karena aku bukan berjalan sambil belajar tetapi berlari tanpa makna sekedar melepas keringat sambil memikul kelelahan”.

Berjalan sambil belajar adalah kata kunci yang terus ku bawa sampai usiaku sekarang. Kuselipkan suara ini dalam dompet memoriku, ku semati dia dalam kalbu yang tak teriris dan ku tata dia seiring dengan berjalanya sang waktu. Suara itu adalah emas yang berkilau, yang darinya aku bisa melihat hidup dan yang dalam terangnya aku bisa memaknai setiap peristiwa. Bersama perginya waktu aku memurnikan penggalan berharga itu sambil memaknai setiap jeritan hati yang lagi merintih, memoles setiap tapak yang tak bermakna dan mengintip setiap pesan yang alam dan hidup kisahkan. Ia, penggalan emas “berjalan sambil belajar” terus berjalan bersama aku. Memaksaku untuk memaknai hidup, membuka cakrawalaku untuk memaknai setiap butir kisah petualang yang berjejal bersama aku dan memotivasikan aku untuk belajar dari pengalaman silamku dan pengalaman mereka yang sempat bertutur bersama aku.

Aku terbius oleh suara itu. Setiap kali ia datang, pikiranku selalu kembali dan terpaut kepada empunya yaitu ibu yang melahirkan aku dan bapak yang menata langkahku. Aku tak pernah lelah mendengar suara itu. Malah sebaliknya, dengan suara itu aku berhasil menata hidupku bersama alam yang berkata, bersama sesama yang berjalan dan bersama bumi yang mengukir jejakku disetiap waktu. Suara itu membawa aku kepada keberhasilan dalam belajar dalam arti literal. Waktu itu, di akhir tahun ’89 aku dipilih untuk berbagi pengetahuan bersama sahabat sederajatku dan bersaing demi almamater dalam lomba tingkat kecamatan. Aku tahu bahwa aku mampu tetapi aku selalu pesimis sambil menganggap orang lain selalu mempunyai nilai lebih dari aku. Aku sungguh berada diantara autoestima yang lemah dan kebijaksanaan yang selalu menilai orang lain lebih dari diriku. Dalam kegelapan itu aku tidak mau berekasi keras sebagaimana cirikhasnya lelaki puber, tatapi sambil menghidupi karakter ayahku aku terus berdiam diri sambil menata bawaan alamiah, sembari mecoba, bersama putaran waktu memaknai pesan “berjalan sambil belajar”....(4)

quarta-feira, 28 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (3)


....Belajar untuk Berjalan

Juli, 1986


Perhatian mereka itu terlampau kuat sampai kasih yang mereka bagikan itu mampu melunturkan kesanku akan sulitnya hidup. Waktu terus bergulir seiring dengan pertumbuhanku yang membekas bumi dan menandai alam. Juli, ’85, awal dari tahap ke dua waktu dalam setahun mengukir sejarah dalam kalbuku. Ku dengar seruan angin yang datang dari arah ibuku yang mengatakan bahwa cerita lembaran kusam hasil coretan tangan adalah modal untuk berjalan. Aku tak mengerti maksudnya karena susunan otak kanan dan kiriku barangkali belum terlalu sempurna untuk memahami semuanya itu. Belajar untuk berjalan. Sejak aku mulai mengerti bahasa manusia, logikaku mulai bertutur bahwa untuk berjalan tidak perlu belajar karena waktu toh akan berbicara. Tetapi ternyata maksudnya supaya aku berjalan bukan sekedar jalan dan menepis waktu sambil membekasi bumi, bukan juga sekedar belajar menghitung jumlah bintang dan kuatnya potensi angin tetapi supaya lembaran hidup yang dibuka setiap hari itu punya cerita tersendiri, agar coretan nubari yang di rangkai bernapas kasih dan supaya celoteh hati mampu menepis muramnya waktu. Aku terus berusaha berpikir untuk memahami bahasa waktu dan alam dan terkadang aku menghidupi gaya eksis ayahku yang rada meditatif.

Tenagaku terkuras oleh cara nalarku, pikiranku terbagi oleh dua gaya yang berbeda. Aku berada diantara dua mental yang berbeda, atau menuruti logika hidup ayah dan ibuku, atau bertapak searah dengan perkembangan fisik dan psikisku. Saya tidak ingat apakah aku mengalami stress kala itu karena berada diluar diriku, tapi satu hal yang masih segar dalam ingatanku ialah bahwa aku bahagia karena dituntun, dan bergembira karena ada mercusuar yang menerangi arah nalarku. Aku terus menelusuri maksud bapak dan ibu. Belajar untuk berjalan. Ku coba membandingkan maksudnya dengan bahasa yang dikenal oleh orang kebanyakan, “makan untuk hidup’. Kuparalelkan intinya, hidup bukan sekedar hidup dan hidup bukan sekedar bernapas, tetapi hidup yang berkualitas yang mencakupi segala lini sisinya. Juga makan bukan sekedar ada, tidak juga tergantung pada kuantitasnya tetapi yang dipertontonkan ialah gizinya yang bisa menstransformasi dan menormalisasikan struktur tubuh. Caraku untuk mengerti maksud orang tuaku!: Belajar untuk berjalan.

Aku sungguh berada dalam pertautan psikis. Juli, bulan yang mengukir bentuk kepribadianku, dan waktu dalam skala tahunan untuk menaruh segala harapan akan dimulainya tahun ajaran baru untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, mengingatkan aku kembali pada kiat ayah dan ibuku. Belajar supaya aku bisa berjalan selayaknya. Belajar untuk aku bisa menata bumi dan belajar agar aku bisa membagi waktu untuk “Kekasih”-ku, untuk kembara kelana yang berjejal di tebing waktu dan untuk diriku sendiri yang sedang mencari identitasku. Aku masih berada ditahun ke dua Sekolah Dasar pada Sekolah Dasar yang didirikan seturut Instruksi Presiden yang bertempat di Golowelu II (Ibu kota kecamatan di kabupaten tetanggaku), tempat aku menghabiskan masa kecilku. Terlalu dini aku memikirkan semuanya itu. Tetapi apakah usia selamanya menentukan cara berpikir anak manusia?. Atau, apakah cara berpikir tergantung pada usia?.
Dalam petualanganku bersama mereka yang nyasar dijalanku, sampai saat aku mencoret kisah ini, aku menemukan bahwa begitu dan terlalu banyak insan yang mencapai usia dewasa tetapi masih memiliki cara berpikir inferior, masih dikuasai oleh afeksi yang labil dan sering terbawa oleh emosi yang tak terkendali. Disini kutelusuri maksud kiat sang bapak dan ibu agar aku berjalan atas dasar apa yang ku pelajari atau supaya aku belajar agar bisa menata langkah di setiap ruang bumi yang hendak ku telusuri...(3)

terça-feira, 27 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (2)


.....Belajar dan Berjalan.

Dalam suasana bathinku yang terikat oleh tapak yang enggan melangkah saat aku berpijak di tebing waktu, aku terus dituntun oleh Cahaya yang pernah kulihat bersama ayah dan bundaku. Cahaya itu membawa aku kembali ke pangkalan kasih yang pernah ku rajut bersama sang ayah diawal Juli, 1984. Bapa menemaniku dalam Belajar dan Berjalan, sang ibu mengusap keringatku karena lelah bergulat dengan masa depanku. Belajar adalah kata kunci yang selalu kudengar dari mulut ayahku. Dengan cara khasnya dia selalu menemani aku dan saudaraku. Saat itu aku tidak bisa menebak maksudnya yang mewajibkan aku untuk duduk dan membuka lembaran catatan kusam. Akupun tak pernah optimis kalau kelak aku tahu membaca dan menulis. Cirikhas kepribadianku. Ayah dan ibuku membiarkan kami belajar dan berjalan. Belajar tanpa tahu persis target yang hendak digapai dan berjalan tanpa arah pasti yang hendak dituju. Namun kebajikan khas yang selalu mereka pancarkan ditengah kemelutnya waktu dan alam ialah iman, harap dan kasih. Iman akan Tuhan mereka membuat mereka optimis dalam menata ladang anaknya, Harap akan hadirannya Cahaya menguatkan mereka untuk meretas misteri petualangan dan Kasih yang tak terbagi memampukan mereka untuk selalu menebar senyum kepada siapa saja yang hendak membagi rahmat. Aku tertegun menyasikan semuanya itu sambil bertanya kemanakah bahtera kami hendak dibawa.

Waktu semakin berlalu tatkala Dezember ’84 memberikan lampu sein pratanda beranjaknya waktu. Sebelum aku beralih langkah menuju tangga dan rentangan waktu yang baru, orang tuaku mengingatkan aku kalau pekan sebelum pamitnya Dezember’ 84 semua orang yang menamakan dirinya Kristen merayakan hadirnya Cahaya. Natal datang mengusap darah dan air mata anak zaman, menebarkan keselamatan tanpa upah, menerangi bumi dengan pelita malam serentak memecahkan kesunyian bumi dengan tangisan Sang Pembawa damai. “Gloria in ex celcis Deo”. Syair khas nyanyian natal, kidung agung para gembala, manusia sederhana, miskin dan papa. Aku terus menelurusi jalan itu, jalan yang diperkenalkan oleh bapak dan bundaku. Kesederhanaan natal ’84 dan tahun-tahun berikutnya adalah khas bahtera kami. Teriring oleh cahaya remang lampu pelita, sang ayah bertutur kepadaku tentang natal Tuhannya di Betlehem. Dengan dengungan nyanyian “Holy night” ibu menemani kisah itu. Jadilah kami merayakan natal yang super sederhana dengan cahaya yang agak remang.

Kisah natal yang didongengkan itu tersimpan rapih di sisi terdalam nubariku. Kesederhanaan sang ayah dalam menuturkan hadirnya Cahaya adalah saksi suci akan hadirnya Tuhan mereka. Aku terus berjalan dan usiaku beranjak setahun lagi. Kiat untuk belajar untuk menghitung jumlah bintang di langit tak pernah pudar oleh waktu. Bapak dan bunda tidak membiarkan semangatnya diluntur oleh sejarah yang sedang terangkai. Mereka terus dan terus menuntunku untuk belajar besarnya bola bumi dan mengukur batasnya waktu. Dua kata itu rapih tersusun sampai di batas akhir suatu rentangan waktu yang orang namakan 1984. Belajar dan berjalan, dua kata yang selalu sulit untuk dipahami dalam jelang waktu yang bukan pendek. Ibu dengan naluri keibuannya melatih aku untuk memegang pena dan ayah menata aku untuk berjalan dalam kesunyian. Semangat yang mereka miliki itu untuk menuntun aku dan saudara-saudariku bukan hasil dari lembaran kusam yang mereka pernah buka, bukan juga hasil dari coretan lepas yang pernah mereka rangkai, tapi bersumber dari “Kekasih” mereka yang mengajarkan mereka membagi kasih. Tanggung jawab mereka terhadap aku dan saudara-saudariku sedarah adalah kepingan emas yang selalu mereka bagikan kepada kami, kepada dunia dan kepada kita...(2)

domingo, 25 de abril de 2010


Kalau kaki enggan untuk berlari, berjalanlah pelan tapi percaya diri sambil mengumpulkan tenaga. Kalau hati sulit terjangkau cukuplah motivasi yang menguasaimu. Kalau tidak bisa menjadi seperti matahari atau bulan, cukuplah menjadi bintang kecil yang setia mengiringi perginya malam. Kalau tidak bisa seperti pohon, cukuplah menjadi semak indah yang tumbuh dipinggir jalan yang memberi kesejukan dan kebahagian bagi siapa saja yang menapaki jalan itu.
Sabtu, 24 April 2010. Berdecak kagum dengan indahnya pemandangan di musim semi disamping jalan yang ku lewati. Ini bukan hasil jerih payah manusia tapi hasil tangah Allah yang menata saudari bumi. Proficiat untukmu Sang Pencipta.


April, 25. 2010. Minggu cerah tak berawan menepis perlahan dinginnya winter. Ku telusuri lahan luas tak bermakna. Kebetulan musim semi. Dia jadi bermakna oleh rangkaian kuntum alami yang tak tertabur oleh tangan manusia. Hukum alam ditempat adaku sekarang mengukir jejak peziarah sambil bercerita bahwa di musim semi Malaekat di negri ini menaburkan bibit bunga yang indah. Begitu waktunya tiba, Primavera, musim semi, mereka menyajikan harum semerbak, mengusir gelapnya pandangan yang kabur dan menuai jepretan kamera para petualang yang membekas bumi pertiwi. Almodôvar, April musim semi, 2010. Sungguh besar dan indah ciptaan-Mu Tuhan.

quinta-feira, 22 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (1)


Dezember, 1984

Minggu, hari pertama dalam pekan, tahun 1984, aku menuruti ajakan ayahku untuk menemaninya menulusuri hutan belantara yang mengelilingi tempat kelahiranku. Tujuan kami ialah mencari ranting kering, mengumpulkan dedaunan yang jatuh karena angin, dan membawanya pulang untuk dijadikan sarana buat ibuku yang lagi cemas dan gelisah karena ketiadaan bahan yang mengubah beras menjadi nasi. Pencarian kami waktu itu tidak terlalu sulit karena zaman itu, hutan adalah tempat dimana berbagai jenis kayu bertumbuh segar dan medan dimana kami menghabiskan masa kecil. Kami sunggu menguasai tempat itu. Aku baru berumur tujuh tahun namun sudah mulai merasakan getirnya sebuah perjuang dan pahitnya merajut waktu. Aku capeh dan tampaknya ayahku juga demikian. Saya meminta dia untuk beristirahat sejenak sambil duduk diatas sebatang pohon yang tumbang karena angin. Sambil bersantai ria dan ketika lelah mulai pudar dari tubuhku aku meminta ayahku untuk bercerita tentang hidup. Maklum! aku masih terlalu kecil untuk mengertinya.

Dalam kelelahannya, dan sambil mengusap keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, sang ayah mulai bercerita tentang hidupnya dimasa silam bersama orang tuanya. Sambil mengarahkan pandangannya kepadaku dengan air mata yang membasahi wajahnya, mengingat saat-saat indah bersama mereka, bapak bertutur kalau orang tuanya dahulu adalah pengasih, penuh cinta, pekerja keras dan ramah dengan siapa saja yang bertualang dijalan mereka. Kisah yang sama pernah kudengar dari ema tu’a dan ema koe-ku (sapaan dalam bahasa Manggarai untuk kakak dan adik dari ayah). Ketika bapak menceritakan sejarah hidup yang dirajut bersama orang tuanya, terbersit sebuah kebijaksanaan hidup seorang anak manusia yang pandai bersyukur atas cinta yang pernah diterima dan kemampuan memaafkan atas ketidaksempurnaan cinta yang pernah dinikmati.

Waktu sudah berujung dan matahari hampir kembali ke peraduannya. Aku mengingatkan ayahku kalau matahari sudah hampir tenggelam. Enggan kelihatannya sang ayah melepaskan memori indah bersama orang tuanya. Kami bergegas pulang sambil membawa beban diatas pundak, masing-masing dengan sebuah ikatan kayu dengan ukuran yang berbeda. Ibuku sudah lama menantikan kehadiran kami. Kali ini, hati seorang ibu sebagaimana hakekatnya luntur terbawa emosi karena penantian yang tak berujung. Dia cemas. Gelisah bukan saja karena kami tiba sebelum waktu tetapi lebih dari itu cemas karena dia tidak bisa melayani santap malam pada waktunya.

Aku bernafas diantara dua figur yang membahagiakan, bertapak diantara dua jiwa yang bertautan, ayah yang sedikit meditatif dan ibu yang tegas tanpa kekurangan kata-kata saat berbagi kata dengan sesama dan Tuhannya. Matahari sudah sangat tenggelam dan malam sudah membungkus anak manusia. Kami; saya, kakaku yang sulung dan adik perempuanku sudah sangat lelah. Alam menuntut tubuh untuk segera beradu karena besok harus pergi belajar mengenal sang Pencipta, menghitung hari-hari dalam hidup, dan mengukur bumi yang tak berujung. Impian ayah dan ibu untuk anak-anaknya saat itu nihil. Mereka selalu pesimis dengan masa depan kami. Ayah yang sangat diam tampaknya pasrah. Disamping karena ketidakmampuannya untuk meraih sekarung harta juga karena kesehatannya yang labil. Aku tidak tahu apakah itu masalah psikis atau masalah fisiknya. Dia hanya mampu menghidupkan impiannya saat itu dengan cara ber-ada-nya. Dia selalu menemani kami dalam belajar mengenal Pencipta, Sang pemberi waktu. Kesetiaanya tidak pernah luntur untuk menemani kami dalam belajar mengenal besarnya bola bumi dan ketulusannya untuk menata masa depan kami tak pernah dicoret oleh kelamnya kondisi fisik. Dia selalu menunjukan dia apa adanya sambil berpasrah pada “GURU”-nya. Belajar dan berjalan, belajar untuk berjalan dan berjalan sambil belajar adalah kiat utama yang ditanamkan sang ayah dan ibu dalam petualanganku.
Ku tutup hari itu dengan “Sembah-yang” kuasa. Hal itu ku buat bukan karena kemauanku sendiri tapi atas mandat sang ayah dan ibu. Mereka meretas jalan kami menuju Tuhan mereka. Pencarian akan Sang Khalik dalam usiaku yang sangat dini dimulai ketika keluargaku berujar “Oremos-Let’s pray” disaat sinar bercahaya merekah dan dikala senja menutup selubung suci sang bumi. Sejak saat itu aku mengenal Tuhannya sang bapak dan ibu dan aku bersyukur karena aku dituntun untuk ke jalan itu.

Aku terus berjalan dalam terang “Dia” yang orang tuaku perkenalkan ketika aku berumur setahun jagung dalam hidup. Itulah dasar pijakanku dan cahaya itulah yang terus menyemangatiku untuk selalu meretas jalan baru yang asing dan penuh liku. Cahaya itu sungguh dasyat dan terlampau kuat sampai suatu waktu, ketika aku berada di tebing waktu, aku mampu memutuskan untuk terus melangkah maju atau terpaksa berhenti dan perlahan mundur....(I)