.....Belajar dan Berjalan.
Dalam suasana bathinku yang terikat oleh tapak yang enggan melangkah saat aku berpijak di tebing waktu, aku terus dituntun oleh Cahaya yang pernah kulihat bersama ayah dan bundaku. Cahaya itu membawa aku kembali ke pangkalan kasih yang pernah ku rajut bersama sang ayah diawal Juli, 1984. Bapa menemaniku dalam Belajar dan Berjalan, sang ibu mengusap keringatku karena lelah bergulat dengan masa depanku. Belajar adalah kata kunci yang selalu kudengar dari mulut ayahku. Dengan cara khasnya dia selalu menemani aku dan saudaraku. Saat itu aku tidak bisa menebak maksudnya yang mewajibkan aku untuk duduk dan membuka lembaran catatan kusam. Akupun tak pernah optimis kalau kelak aku tahu membaca dan menulis. Cirikhas kepribadianku. Ayah dan ibuku membiarkan kami belajar dan berjalan. Belajar tanpa tahu persis target yang hendak digapai dan berjalan tanpa arah pasti yang hendak dituju. Namun kebajikan khas yang selalu mereka pancarkan ditengah kemelutnya waktu dan alam ialah iman, harap dan kasih. Iman akan Tuhan mereka membuat mereka optimis dalam menata ladang anaknya, Harap akan hadirannya Cahaya menguatkan mereka untuk meretas misteri petualangan dan Kasih yang tak terbagi memampukan mereka untuk selalu menebar senyum kepada siapa saja yang hendak membagi rahmat. Aku tertegun menyasikan semuanya itu sambil bertanya kemanakah bahtera kami hendak dibawa.
Waktu semakin berlalu tatkala Dezember ’84 memberikan lampu sein pratanda beranjaknya waktu. Sebelum aku beralih langkah menuju tangga dan rentangan waktu yang baru, orang tuaku mengingatkan aku kalau pekan sebelum pamitnya Dezember’ 84 semua orang yang menamakan dirinya Kristen merayakan hadirnya Cahaya. Natal datang mengusap darah dan air mata anak zaman, menebarkan keselamatan tanpa upah, menerangi bumi dengan pelita malam serentak memecahkan kesunyian bumi dengan tangisan Sang Pembawa damai. “Gloria in ex celcis Deo”. Syair khas nyanyian natal, kidung agung para gembala, manusia sederhana, miskin dan papa. Aku terus menelurusi jalan itu, jalan yang diperkenalkan oleh bapak dan bundaku. Kesederhanaan natal ’84 dan tahun-tahun berikutnya adalah khas bahtera kami. Teriring oleh cahaya remang lampu pelita, sang ayah bertutur kepadaku tentang natal Tuhannya di Betlehem. Dengan dengungan nyanyian “Holy night” ibu menemani kisah itu. Jadilah kami merayakan natal yang super sederhana dengan cahaya yang agak remang.
Kisah natal yang didongengkan itu tersimpan rapih di sisi terdalam nubariku. Kesederhanaan sang ayah dalam menuturkan hadirnya Cahaya adalah saksi suci akan hadirnya Tuhan mereka. Aku terus berjalan dan usiaku beranjak setahun lagi. Kiat untuk belajar untuk menghitung jumlah bintang di langit tak pernah pudar oleh waktu. Bapak dan bunda tidak membiarkan semangatnya diluntur oleh sejarah yang sedang terangkai. Mereka terus dan terus menuntunku untuk belajar besarnya bola bumi dan mengukur batasnya waktu. Dua kata itu rapih tersusun sampai di batas akhir suatu rentangan waktu yang orang namakan 1984. Belajar dan berjalan, dua kata yang selalu sulit untuk dipahami dalam jelang waktu yang bukan pendek. Ibu dengan naluri keibuannya melatih aku untuk memegang pena dan ayah menata aku untuk berjalan dalam kesunyian. Semangat yang mereka miliki itu untuk menuntun aku dan saudara-saudariku bukan hasil dari lembaran kusam yang mereka pernah buka, bukan juga hasil dari coretan lepas yang pernah mereka rangkai, tapi bersumber dari “Kekasih” mereka yang mengajarkan mereka membagi kasih. Tanggung jawab mereka terhadap aku dan saudara-saudariku sedarah adalah kepingan emas yang selalu mereka bagikan kepada kami, kepada dunia dan kepada kita...(2)
Sem comentários:
Enviar um comentário