.....Mengosongkan diri dan pergi
Senin, Juli 16. 1990. Kuwu terbungkus dingin oleh hukumnya alam. Aku kedinginan bukan saja karena angin pagi yang dingin tak berbasah, bukan juga karena merasa sendiri dan ditinggalkan oleh orang tua, tetapi karena merasa asing berada diantara mereka yang tak pernah ku kenal. Petualanganku yang sesungguhnya hendak dimulai. Awalnya aku cendrung berdiam diri dan terus menetap dalam ego dan kesendirianku. Ku tapaki hari itu dengan hati tak berisi dan dengan kasut yang tak berwarna. Enggan untuk membuka jendela jiwaku. Namun tubuh tak mampu menahan jeritan jiwa. Aku terganggu oleh suara bisik naluriku sendiri yang bertanya “bagaimana harus keluar dari diriku sendiri dan pergi menjumpai mereka?”. Sulit dan sulit. Keinginanku ialah menutup jendela jiwa dan tidur dalam kesenyapanku, namun ternyata Cahaya Mentari jauh lebih kuat dari kelamnya malam sang jiwa. Aku bergulat dengan perasaan dan berjuang melawan ketakutanku. Ku coba dekati mereka dengan caraku sambil menebar harapan akan datangnya rahmat dalam diri sahabat. Inginnya saat itu segera kembali ke rumah orang tuaku, karena disana aku telah menjaring kasih yang tak terbagi dan sahabat yang penuh makna. Namun wajah mereka terus datang dalam bayangan sambil mengualangi syair suci “Guru” mereka yang pernah berujar kepada murid-murid-Nya agar “berlayar ke tempat yang lebih dalam lagi”. Perjuanganku itu memakan waktu. Aku terus berusaha mengais kasih diantara gersangnya relasi pada hari pertama.
Senin, Juli 16. 1990. Kuwu terbungkus dingin oleh hukumnya alam. Aku kedinginan bukan saja karena angin pagi yang dingin tak berbasah, bukan juga karena merasa sendiri dan ditinggalkan oleh orang tua, tetapi karena merasa asing berada diantara mereka yang tak pernah ku kenal. Petualanganku yang sesungguhnya hendak dimulai. Awalnya aku cendrung berdiam diri dan terus menetap dalam ego dan kesendirianku. Ku tapaki hari itu dengan hati tak berisi dan dengan kasut yang tak berwarna. Enggan untuk membuka jendela jiwaku. Namun tubuh tak mampu menahan jeritan jiwa. Aku terganggu oleh suara bisik naluriku sendiri yang bertanya “bagaimana harus keluar dari diriku sendiri dan pergi menjumpai mereka?”. Sulit dan sulit. Keinginanku ialah menutup jendela jiwa dan tidur dalam kesenyapanku, namun ternyata Cahaya Mentari jauh lebih kuat dari kelamnya malam sang jiwa. Aku bergulat dengan perasaan dan berjuang melawan ketakutanku. Ku coba dekati mereka dengan caraku sambil menebar harapan akan datangnya rahmat dalam diri sahabat. Inginnya saat itu segera kembali ke rumah orang tuaku, karena disana aku telah menjaring kasih yang tak terbagi dan sahabat yang penuh makna. Namun wajah mereka terus datang dalam bayangan sambil mengualangi syair suci “Guru” mereka yang pernah berujar kepada murid-murid-Nya agar “berlayar ke tempat yang lebih dalam lagi”. Perjuanganku itu memakan waktu. Aku terus berusaha mengais kasih diantara gersangnya relasi pada hari pertama.
Hidupku terus ditandai dengan keraguan dan penuh tanya sambil berdesus apakah mereka membutuhkan aku dalam bahtera mereka. Inilah ciri khas awal kepribadianku yakni kurang yakin dengan diri sendiri. Waktu terus berputar dan hari terus berlalu. Pergulatan emosi mewarnai langkah awalku saat itu sampai suatu ketika merasa bahwa ternyata aku tidak saja berguna untuk mereka tetapi lebih dari itu ialah mereka membutuhkan aku. Aku sendiri tak mengerti, apa yang mereka butuhkan dari diriku, tapi saya yakin aku berguna karena bisa menemani mereka dalam kesendirian masing-masing mereka. Perahu memang bisa laju dengan dayungan seorang diri, tetapi sangat lamban. Jauh lebih cepat jalanya bila aku menemani mereka dan bila mereka menemani aku dalam mendayungnya, apalagi kalau ombak datang dengan keganasannya, ujarku dalam kesendirianku.
Aku terus bergulat sampai terkadang menguras tenaga dan menyita banyak waktu. Tidak pernah takut dengan kehilangan waktu dan tak pernah enggan untuk bertanya kepada alam apakah hidupku saat itu bermakna. Hanya satu ketakutanku ialah kehilangan jejak dan kegagalan meraih hidup. Karena itu aku rela mengosongkan diri dan pergi, membiarkan kalbu disentuh dan dituntun oleh ‘KEKASIH’-ku dan merelakan ‘alma’ dibajak oleh pengalaman dan dijamah oleh naluri alam dan manusia. ...(6)
Sem comentários:
Enviar um comentário