segunda-feira, 29 de março de 2010


Waktu berganti, cuaca berubah. Diawal pekan suci hujan mengguyur di kota kecilku. Aku tak membiarkan diri basah kuyup. Aku menyelip disalah satu toko super antik yang terkadang aku membekasi pintu rumahnya. Pemilik dagangan semakin akrab saja dengan saya. Ditengah-tengah perbincanganku dengan si pedagang super simpatik itu, terdengar suara sang lelaki tua, berjenggot putih menyapa saya dengan penuh hormat: "Senhor Padre! como está - Pater! apa khabar?. Aku kaget karena aku tidak mengenalnya. Dengan rasa penuh heran saya menyapanya kembali seolah-olah aku mengenalnya lama. Ku tanya dalam hati siapa dia ini. Aku tahu kalau kaum adam di kotaku itu tidak biasa masuk gereja dan saya cukup yakin kalau dia itu tidak pernha ku temukan dalam gereja. Aku terus bertanya, kenapa dia mengenal aku?. Mungikin karena aku satu-satunya orang asing di kotaku ini. tanya retorisku kembali bergumam di nubariku. Setelah perbincangan kami berakhir, aku beralih langkah dari kios itu dan pergi menuju rumahku. Tanpa ada unsur kesengajaan saya menemukan jurnal misi kecil yang ada diatas meja diruang tamu. Ku buka setiap halaman dan ku temukan disana sebuah artikel yang yang berjudul "Cara bermisi ditengah kaum "kafir" di zaman Edan". Ku telusuri paragraf demi paragraf dan di sana kutemukan jawaban dari pristiwa pertemuanku dengan lelaki tua itu. Memberi kesaksian akan kehadiran Allah ditengah kaum "kafir" tidak selamanya lewat kata dan kotbah, tapi cukup dengan cara kita berada sambil mengucapkan "selamat pagi/selamat siang/ dan selamat malam untuk siapa saja yang kita jumpai di jalan kita. "TAMPIL BEDA" terkadang membawa makna yang positif.

Sem comentários: