Sejak, akhir 1986
Usiaku tak tertinggal oleh berputarnya roda waktu. Akan tetapi, ia terus bergulir dan terus beranjak bersama hembusan angin yang tak akan pernah kembali ke peraduannya. Aku terus berjalan dan semakin mengerti bahasa manusia, semakin insyaf akan isyarat alam dan semakin tertegun dengan indahnya bumi. Sambil berjalan aku menyusun semuanya itu dalam kalbuku yang tak berjendela, menatanya rapi dalam kepingan hati yang tak terbagi. Berjalan sambil belajar adalah motif awal langkahku di belahan waktu’86. Usiaku saat itu berbusana lain. Bahasanyapun berisyarat berbeda. Aku bertingkah dalam konteks anak manusia yang hampir menginjak masa puber. Sembilan tahun sudah berlalu. Ku coba mengevaluasi posisi saya saat itu. Aku tak mengerti struktur tubuhku, kurang insyaf akan keinginannku. Tetapi aku tak pernah diam. Ku coba meluruskan arah pandangku, merapihkan benang hidup yang kusut dan memoles warna daging yang kusam. Aku coba dan terus berjalan dalam cahaya yang orang tuaku pernah perkenalkan, sambil belajar intesitas kekuatannya saat dia mencium kaki bumi, Ku telusuri perputaran waktu, kusimak setiap denyutannya dan ku coba meraih suaranya yang berbicara kepada setiap insan yang bertapak.
Suara kiat sang bapak dan bunda berceloteh lagi. Tak pernah pudar dari memoriku. Kali ini, tahun yang manusia namakan ‘87, suara itu datang dengan gumam yang bernada sedikit serak basah “Berjalan sambil belajar”. Susunan otak kiri dan kananku sekali lagi masih lemah untuk memahaminya. Aku menerjemahkannya secara literal. Kupikir, disaat angin senja menari, ketika bumi menampilkan cahaya remang aku harus membuka catatan hidup, berbicara dengannya, sambil membekas bumi dengan kaki tak berkasut. Ternyata maksud mereka adalah lain. Ku tanyakan kepada sang bintang yang menyaksikan langkahku saat itu, apakah suara bunda dan pasangannya itu berasal dari dunia?. Berjalan sambil belajar. Tekat perdanaku ialah bukan berjalan tapi berlari. Maklum!, dalam usia itu aku sudah menganggap diri matang untuk berlari mengejar waktu. Aku menganggap bahwa aku sudah dewasa untuk memikul sendiri bola bumi yang tak mempunya sudut. Inilah cirikhas anak manusia yang lagi naik darah dan berpuber ria. Saat aku mengukir sejarah ini, aku mulai bernalar, “andaikan saat itu akau berlari dan tidak berjalan tentu aku tidak akan pernah mengerti bahasa alam karena aku bukan berjalan sambil belajar tetapi berlari tanpa makna sekedar melepas keringat sambil memikul kelelahan”.
Berjalan sambil belajar adalah kata kunci yang terus ku bawa sampai usiaku sekarang. Kuselipkan suara ini dalam dompet memoriku, ku semati dia dalam kalbu yang tak teriris dan ku tata dia seiring dengan berjalanya sang waktu. Suara itu adalah emas yang berkilau, yang darinya aku bisa melihat hidup dan yang dalam terangnya aku bisa memaknai setiap peristiwa. Bersama perginya waktu aku memurnikan penggalan berharga itu sambil memaknai setiap jeritan hati yang lagi merintih, memoles setiap tapak yang tak bermakna dan mengintip setiap pesan yang alam dan hidup kisahkan. Ia, penggalan emas “berjalan sambil belajar” terus berjalan bersama aku. Memaksaku untuk memaknai hidup, membuka cakrawalaku untuk memaknai setiap butir kisah petualang yang berjejal bersama aku dan memotivasikan aku untuk belajar dari pengalaman silamku dan pengalaman mereka yang sempat bertutur bersama aku.
Aku terbius oleh suara itu. Setiap kali ia datang, pikiranku selalu kembali dan terpaut kepada empunya yaitu ibu yang melahirkan aku dan bapak yang menata langkahku. Aku tak pernah lelah mendengar suara itu. Malah sebaliknya, dengan suara itu aku berhasil menata hidupku bersama alam yang berkata, bersama sesama yang berjalan dan bersama bumi yang mengukir jejakku disetiap waktu. Suara itu membawa aku kepada keberhasilan dalam belajar dalam arti literal. Waktu itu, di akhir tahun ’89 aku dipilih untuk berbagi pengetahuan bersama sahabat sederajatku dan bersaing demi almamater dalam lomba tingkat kecamatan. Aku tahu bahwa aku mampu tetapi aku selalu pesimis sambil menganggap orang lain selalu mempunyai nilai lebih dari aku. Aku sungguh berada diantara autoestima yang lemah dan kebijaksanaan yang selalu menilai orang lain lebih dari diriku. Dalam kegelapan itu aku tidak mau berekasi keras sebagaimana cirikhasnya lelaki puber, tatapi sambil menghidupi karakter ayahku aku terus berdiam diri sambil menata bawaan alamiah, sembari mecoba, bersama putaran waktu memaknai pesan “berjalan sambil belajar”....(4)