Aku berada dalam pertautan. Berdiri diantara dua dunia, antara mengerti dan tidak. Aku pertanyakan dan terus bertanya apa maksud, aku ditunjuk untuk mencari dan mengenal KEKASIH hidup di Kuwu. Begitu banyak pertanyaan yang kubuat untuk Dia yang menyelenggarakan semuanya ini. Ke Kuwu lagi? Bukankah aku sudah dan pernah berada disana selama enam tahun? Apa maksudnya?. Di balik pertanyaan ini selalu ada saja jawaban. Dalam kebingungan, aku mendengar nada samar yang mengatakan bahwa aku kembali ke Kuwu bukan ke tempat yang lama, dimana aku merajut hidup selama enam tahun, tetapi ke Kuwu, untuk menciptakan sejarah hidup disalah satu belahannya di mana aku harus berada secara dekat dengan empunya panggilah hidup. Kali ini, tujuan ziarahku ialah Novisiat “Sang Sabda”, tempat formasi bagi calon-calon biarawan misionaris SVD. Sungguh sebuah perjalanan rohani yang panjang, melelahkan dan menggembirakan. Formasi yang memakan waktu dua tahun ini memberi bekas yang begitu jelas dalam hidupku.
Disini aku sungguh di tempa, dan diarahkan bukan saja untuk mengenal Tuhanku, tetapi juga untuk mengenal diriku sendiri, masa laluku, dan mengenal mereka yang sejalan dengan aku. Di tempat ini aku dilatih untuk berada bersama orang yang datang dari tempat, dari keluarga dan dari budaya yang lain. Di sini aku dididik untuk memberi dan menerima, untuk membagi dan diatur, untuk melayani dan dilayani. Di tempat ini aku dipupuk untuk bertumbuh dalam keberagaman, dilatih untuk menerima orang lain sebagai saudara secita-cita. Di tempat ini aku diajarkan untuk membentuk keluarga yang baru dalam serikat religius. Sebuah kebersamaan yang dibentuk saat usiaku memasuki 20 tahun dan ketika aku dengan semangat masuk dalam ritme beradaptasi. Sungguh sebuah petualangan yang sangat menarik dan patut dicatat dan dijadikan bagian dari sejarah hidup.
16 Agustus 1997. Aku menapaki secara resmi kompleks novisiat itu. Kuwu, lembah yang membekas benakku yang tak beruang telah mengukir sejarah yang terindah dalam hidupku. Aku tak pernah bosan mendengar alam Kuwu bertutur dan kurang merasakan jiwa teriris oleh dinginnya lembah. Langkahku semakin mantap, pembawaaanku semakin tenang. Kedamaian yang di miliki bukan karena hari-hari aku berenang di kolam susu, akan tetapi karena aku bertahan dalam ngerinya badai, berusaha untuk bisa menembus galapnya awan agar bisa melihat jalan yang sesungguhnya. Perjuangan itu tidak sia-sia. Dalam keterbatasanku aku mampu melihat biasan sang surya yang kadang redup bagaikan sumbu pelita yang kotor dan enggan utk menyala. Saat itu cahaya merayap puncak gunung. Aku bertatih melangkah menuju pendopo novisiat. Suara para novis senior yang ketika itu lagi beradorasi seakan menyambut kedatanganku. Aku tak merasa aneh dengan tempatnya karena kebetulan pernah nyasar disitu dalam sebuah kesempatan yang tak diprogramkan. Namun rasa asing tak pernha luput dari indraku. Disapa oleh oleh orang yang aku tak pernah kenal, disambut oleh jabat yang tak tersentuh namun merasa bahwa aku tetap diterima dan berada di hati DIA yang memanggil aku. ...(14)
Sem comentários:
Enviar um comentário