Untuk menepis gersangnya waktu dan mengurangi kadar kebingungan, aku menuruti ajakan ayah dan ibuku untuk menelusuri lokasi kebun kopi, salah satu sumber penghasilan tahunan mereka. Perjalanan menuju lokasi itu yang namanya “Pandang” tidaklah mudah. Untuk mereka yang mengenal medan Flores umumnya dan Manggarai khususnya, sangatlah sulit menemukan ruang bumi yang berdataran. Demikian juga jalan menuju lokasi kopi itu. Waktu pergi kami harus meraih lembah, diatas krikil tajam ku pijak kakiku dan diatas batu berlumpur ku bekasi ruang bumi. Untuk sampai disana, di kebun itu, kami juga harus melewati sungai yang besar. Tak ada jembatan yang memudahkan kami untuk melintasi sungai itu, hanya dua palang bambu yang membantu setiap mereka yang menapaki jalan itu. Suasana jalan itu mengingatkan aku akan situasi hidup dalam dunia modern ini. Aku teringat akan ide bahwa hidup itu adalah sebuah proses pematangan dan sebuah ziarah yang mana setiap insan mesti melewati likunya jalan, durinya hidup dan labilnya emosi. Berhadapan dengan semuanya itu aku tak pernah bermaksud untuk berhenti berjalan tapi keinginanku ialah pergi sambil berbagi cerita dengan orang tuaku.
Sekitar pukul 10.00 pagi, kami tiba di lokasi kebun kopi. Kala itu adalah awal juli, pas musimnya kopi untuk di panen. Warna buah kopi yang matang dari pohon ke pohon tentu membahagiakan hati orang tuaku tatkala dinilai bahwa kerja tahunannya sebagai petani dianggap berhasil, juga menyematkan harapan dihatiku dan saudara-saudariku. Namun kebahagiaan mereka itu tidak mampu menepis kebingunganku untuk memilih. Aku terus perpikir sampai suatu ketika aku lelah bukan karena teriknya matahari selama panenan itu, akan tetapi karena kemampuanku untuk menanggung kecemasan dan memikul keletihan psikis sudah sampai hampir pada limitnya. Karena itu aku duduk di atas karang, dibawa naungan kopi yang sarat buahnya. Di situ, dan ditempat itulah aku didapatkan oleh ibuku “berkeringat” - basah. Keringat bukan karena panas, dan basah bukan karena kehujanan, tetapi keringat dan basah karena tipisnya dinding kesabaran dan lemahnya kondisi psikisku untuk memutuskan.
Ibu menyaksikan kegundahan hatiku dengan hati keibuannya. Dengan nalurinya sebagai seroang ibu, dia memecakan kesunyian kedalamanku dan bertanya ke arah mana aku harus pergi ditahun kerja yang baru itu. Bagiku, pertanyaannya itu membingungkan sekaligus menjengkelkan. Membingungkan karena aku butuh bantuan mereka untuk memutuskan dan menjengkelkan karena ku rasa bahwa pertanyaan itu mengusik hati yang sedang gundah. Secara sepontan ku menjawabnya bahwa aku tidak tahu ke mana. Namun jawaban sang ibu menepis kedunguanku saat itu dan menandakan bahwa dia adalah hamba yang sadar akan petunjuk KEKASIH hidupnya. Dalam kepolosan dan kesederhanaanya dia mengisyaratkan aku agar aku membiarkan KEKASIH hidup membuka pintu untuk keluar dari kebingunganku dan mengikuti indikasinya. Yang lebih menguatkan aku ialah saat ibu mengajak aku untuk meletakan semua harapan dan kesulitan hidupku ke dalam ruang hati KEKASIH hidup mereka. Aku kagum dengan iman yang dimiliki sang ibu dan takjub menyaksikan optimis sang ayah akan berkah yang akan dicurahkan Tuhan untuk diriku. Batu karang itu sungguh menjadi saksi bisu janji sang ibu dan naungan pohon kopi itu menyejukan aku untuk mengikuti petunjuk ilahi. Lokasi itu membuka ruang hatiku untuk menyemat kedua orang tuaku...(12)
Sem comentários:
Enviar um comentário