Malam semakin dekat, hawa semakin dingin. Mengingatkan aku akan Natal yang dingin. Ku saksikan mudik orang yang berbelanja hadiah natal pada hari "H" sambil membayangkan kecemasan mereka akan harta yang terbatas dan kegundahan mereka karena itu dan ini belum disiapkan. Aku bertanya pada diriku sendiri apakah mereka sungguh merayakan Natal Kristus atau sekedar untuk melestarikan tradisi yang nenek moyang mereka pernah wariskan?. Aku tak peduli dengan kecemasan mereka karena ku anggap bahwa itu hanyalah celoteh lepas yang ada dalam diriku. Ku berusaha untuk menanggalkan sentimen jenaka yang ada sambil meretas makna yang terdalam dari sebuah pesta iman. Ketika aku terus berlangkah di antara jejak yang hilang dinodai oleh waktu dan kecemasan, tiba-tiba aku mendengar suara yang memanggil identitasku "Pater!". Aku menoleh. Ternyata ada orang yang mengenal aku diantara mudik dihari natal.
Kami berpapasan, bukan tentang Dezember, cinta yang menjelma, tetapi tentang Dezember, Cinta yang pudar. "Sayang sekali" gumamku, ketika ibu lansia mulai menceritakan kecemasannya yang terdalam karena subsidi natal akan berakhir dan dana natal tidak mencukupi untuk membeli hadiah yang tercecer di daftar belanjanya. Ku coba alihkan pembicaraan dengan memoles makna dezember menjadi cinta yang menjelma. Ibu tadi kurang mengerti, tatapi aku coba meyakinkanya. Kasihan, maksud hati memeluk gunung, apa daya tanganku tak sampai. Ibu langsung menutup obrolan kami sambil melepas kemapananya dan pergi sambil mengucapkan "Selamat Natal, sampai jumpa" dengan harapan yang terpupus dan kecemasan yang tampaknya tak bakal pudar.
Aku berlangkah sejengkal lagi. Sekali lagi aku dikagetkan oleh suara lelaki dewasa yang menyapa aku: "Pater, selamat pagi dan selamat Natal". wah, betapa simpatiknya mereka ini, kataku. papasanku dengannya membuka peluang untuk kami berbicara tentang Natal yang sesungguhnya. Aku sempat bingung apa aku berada di ruang yang salah, pasalnya, kami berbicara tentang kecemasan orang akan Cinta yang menjelma yang salah diterjemahkan oleh orang sekitar kami. Obrolan saya dengan lelaki dewasa itu dibuka dengan kata NATAL. Betapa banyak orang yang menerjemahkan natal sebagai moment dimana keluarga saling menukar hadiah. Natal sebagai kesempatan untuk menggayung kecemasan karena tak bisa membeli dan memberi hadiah yang terbaik kepada anak, cucu dan orang tua, Natal sebagai kandang dimana dilahirkan rasa pesimis karena tak bisa merayakan natal seperti mereka yang kaya. Kami berusaha memoles arti natal dengan gaya kami. Mencoba mengalihkan perhatian orang pada Kanak Yesus yang ada di palungan tak berdinding, Allah yang menjadi manusia, KASIH yang menjelma menjadi daging. Obrolan kami mengarah pada maksud Allah menjelma, maksud KASIH meraih hati manusia dan maksud jiwa merayakan natal Kristus, sambil berharap suatu saat mereka yang ber KTP Katolik betul-betul mendalami arti natal, pesta iman dan pesta damai, damai di bumi dan damai di hati insan yang berkelana. SELAMAT NATAL
Sem comentários:
Enviar um comentário