sábado, 24 de dezembro de 2011

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (13)

....Kuwu – Labuan Bajo

Minggu, hari pertama dalam pekan, tidak ku ingat lagi tanggalnya, aku mengambil bagian dalam pesta sabda dan menikmati Roti hidup di gereja parokiku. Ke gereja dan mengambil bagian dalam ekaristi adalah syarat hidup yang orang tuaku tanamkan sejak saya dan saudara-saudaraku masih kecil. Keinginan orang tuaku ialah agar kami mengenal KEKASIH mereka. Dalam perjalanan waktu aku mengerti apa maksud mereka yang mengharuskan aku untuk mengambil bagian dalam pesta itu.


Ceritanya, selama ekaristi berlangsung aku tiba-tiba ingat pesan sang ibu hari sebelumnya di atas karang dan dibawah naungan kopi. “Membiarkan Allah membuka jalan dan mengikuti indiakasi Ilahi”. Aku pegang terus pesan itu dan meletakan semunaya itu dalam penyelenggaraan Ilahi. Ini adalah pesan kudus yang tak pernah lenyap dari diding jiwaku. Dalam alur kasih dan diujung hari Tuhan itu aku menyelami petunjuk itu dan betul, kasih Allah menuntunku untuk mencari jawaban yang pasti ke mana aku harus pergi di tahun kerja yang baru itu. Juli ’96 adalah bulan yang bermakna dan tahun yang penuh rahmat tat kala Allah memberikan jawaban atas kebingunganku. Senin hari berikutnya, aku tiba-tiba berniat dan memutuskan untuk harus kembali ke Kuwu untuk mengurus ijasah SMA-ku tanpa tahu ke mana aku harus pergi. Tiba-tiba dialam ijasah itu ku temukan sebuah amplop yang berisi “jawaban lamaran untuk masuk seminari Yohanes Paulus II – Labuan Bajo”. Aku kaget, bingung dan tak percaya karena bagaimana mungkin aku mendapat jawaban lamaran sementara aku tak pernah menulis lamaran?. Kebingunanku hampir tak berujung namun semuanya berakhir dengan baik. Aku teringat pesan sang ibu di atas karang di bawah naungan kopi: “Membiarkan Allah membuka jalan dan meningkuit indikasi Ilahi”. Ternyata Labuan Bajo adalah tempat yang Allah tunjukan untuk aku. Misteri hidup yang sungguh-sunggu misteri. Aku tidak mengerti maksud KEKASIH untuku.


Pertengahan Juli ’96 aku pun menuruti indikasi itu. Ke Labuan Bajo untuk meneruskan petualangan yang sudah dimulai. Kali ini fokusku ialah untuk mengenal KEKASIH hidup kami. Perjalanan di kota turistik dan panas memakan waktu kurang lebih 8 bulan. Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama ini, aku ditimpa oleh krisis existencial. Hidup di rasa tak bermakna dan keingananku ialah untuk tidak mau bertualang lagi. Keinginanku itu muncul begitu kuat sampai aku merasa denyutnya waktu yang berjalan begitu lambat. Sehari ku rasa seminggu, seminggu ku rasa setahun dan sebulan ku rasa seabad. Aku tak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada diriku waktu itu. Aku sempat pulang dan menemukan orang tuaku. Keinginanku waktu itu ialah untuk tinggal bersama orang tua dan tidak mau keluar dari rumah, kampung tempat aku dilahirkan. Namun krisis itu berakhir dan badaipun berlalu.Kasih Tuhan jauh lebih kuat dari cobaan dunia. Aku diindikasikan lagi untuk kembali ke Labuan dan meretas kembali jalan yang kadang “putus nyambung”.


Ziarahku di tempat ini berkahir di bulan Mei’ 97 dengan keputusanku untuk mengikuti jejak KEKASIH hidup dalam sebuah serikat religious yang di kenal dengan nama SVD. Keputusan untuk mengenal Kristus lebih dekat kali ini juga tidak terlalu gampang. Namun diantara kebimbangan dan ketidak-mengertian, selalu hadir Dia yang sudah menjadi bagian dari hidupku. Allah terus mengindikasikan aku dan panggilannya “Mari dan ikutlah Aku” terus bergema dan semakin kuat. ...(13)

SELAMAT NATAL

Dinginnya winter bukan sekedar menandakan bahwa aku sementara berpijak diambang waktu, akan tetapi meningatkan akau kalau ada sesuatu yang lebih bermakna di ujung tahun ini. Waktu hampir bertepi tapi kenangan iman itu terus berceloteh bahwasannya NATAL Kristus sudah tiba. Menjelang berakhirnya hari ini, Sabtu 24 Dezember dan sebelum dilantukannya lagu "Oh holly Night" aku datang mau berjabat erat kepadamu sembari menitipkan salam ini ke pedalaman hatimu "SELAMAT PESTA NATA". Semoga Natal Kristus menjadi natal kita semua. Kalau boleh izinkan aku untuk menitip pesan ini: "Tempatkan dalam palungan dingin Yesus semua mereka yang terlantar, yang miskin, anak jalanan, yatim piatu, keluarga yang menderita dan sejenisnya. Kita serahkan semua mereka ke dalam doa sang Ibu, Maria ratu pujaan kita dan Yosef, bapak iman yang setia".

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (12)

....Percakapan di atas batu karang, di bawah naungan pohon Kopi

Untuk menepis gersangnya waktu dan mengurangi kadar kebingungan, aku menuruti ajakan ayah dan ibuku untuk menelusuri lokasi kebun kopi, salah satu sumber penghasilan tahunan mereka. Perjalanan menuju lokasi itu yang namanya “Pandang” tidaklah mudah. Untuk mereka yang mengenal medan Flores umumnya dan Manggarai khususnya, sangatlah sulit menemukan ruang bumi yang berdataran. Demikian juga jalan menuju lokasi kopi itu. Waktu pergi kami harus meraih lembah, diatas krikil tajam ku pijak kakiku dan diatas batu berlumpur ku bekasi ruang bumi. Untuk sampai disana, di kebun itu, kami juga harus melewati sungai yang besar. Tak ada jembatan yang memudahkan kami untuk melintasi sungai itu, hanya dua palang bambu yang membantu setiap mereka yang menapaki jalan itu. Suasana jalan itu mengingatkan aku akan situasi hidup dalam dunia modern ini. Aku teringat akan ide bahwa hidup itu adalah sebuah proses pematangan dan sebuah ziarah yang mana setiap insan mesti melewati likunya jalan, durinya hidup dan labilnya emosi. Berhadapan dengan semuanya itu aku tak pernah bermaksud untuk berhenti berjalan tapi keinginanku ialah pergi sambil berbagi cerita dengan orang tuaku.


Sekitar pukul 10.00 pagi, kami tiba di lokasi kebun kopi. Kala itu adalah awal juli, pas musimnya kopi untuk di panen. Warna buah kopi yang matang dari pohon ke pohon tentu membahagiakan hati orang tuaku tatkala dinilai bahwa kerja tahunannya sebagai petani dianggap berhasil, juga menyematkan harapan dihatiku dan saudara-saudariku. Namun kebahagiaan mereka itu tidak mampu menepis kebingunganku untuk memilih. Aku terus perpikir sampai suatu ketika aku lelah bukan karena teriknya matahari selama panenan itu, akan tetapi karena kemampuanku untuk menanggung kecemasan dan memikul keletihan psikis sudah sampai hampir pada limitnya. Karena itu aku duduk di atas karang, dibawa naungan kopi yang sarat buahnya. Di situ, dan ditempat itulah aku didapatkan oleh ibuku “berkeringat” - basah. Keringat bukan karena panas, dan basah bukan karena kehujanan, tetapi keringat dan basah karena tipisnya dinding kesabaran dan lemahnya kondisi psikisku untuk memutuskan.


Ibu menyaksikan kegundahan hatiku dengan hati keibuannya. Dengan nalurinya sebagai seroang ibu, dia memecakan kesunyian kedalamanku dan bertanya ke arah mana aku harus pergi ditahun kerja yang baru itu. Bagiku, pertanyaannya itu membingungkan sekaligus menjengkelkan. Membingungkan karena aku butuh bantuan mereka untuk memutuskan dan menjengkelkan karena ku rasa bahwa pertanyaan itu mengusik hati yang sedang gundah. Secara sepontan ku menjawabnya bahwa aku tidak tahu ke mana. Namun jawaban sang ibu menepis kedunguanku saat itu dan menandakan bahwa dia adalah hamba yang sadar akan petunjuk KEKASIH hidupnya. Dalam kepolosan dan kesederhanaanya dia mengisyaratkan aku agar aku membiarkan KEKASIH hidup membuka pintu untuk keluar dari kebingunganku dan mengikuti indikasinya. Yang lebih menguatkan aku ialah saat ibu mengajak aku untuk meletakan semua harapan dan kesulitan hidupku ke dalam ruang hati KEKASIH hidup mereka. Aku kagum dengan iman yang dimiliki sang ibu dan takjub menyaksikan optimis sang ayah akan berkah yang akan dicurahkan Tuhan untuk diriku. Batu karang itu sungguh menjadi saksi bisu janji sang ibu dan naungan pohon kopi itu menyejukan aku untuk mengikuti petunjuk ilahi. Lokasi itu membuka ruang hatiku untuk menyemat kedua orang tuaku...(12)

terça-feira, 4 de outubro de 2011

Outono, 2011 - Musim gugur yang mencemaskan



Musim gugur sudah lama membekas jalan setapak disamping biliku, namun aku masih terus menutup jendela kamarku. Ku sangka bumi masih bergulat dengan sang surya. Dugaanku memang tak salah. Panas musim panas masih terasa, gugurnya musim gugur belum dialami. Mencemaskan sambil berharap membawa harapan baru bagi bumi dan anaknya. Dari balik jendela kudengar suara yang membisik dan katanya musim panas tahun ini diperpanjang. Kubalik dan kembali bertanya siapa yang menahan sang terang untuk tetap memanasi bumi? namun suara itu hilang dan lari diterpa oleh angin yang menghangatkan jiwa. Aku terus menulusuri dan sambil mencermati kapan musim gugur sebetulnya tiba, namun tak satupun dedaunan yang kulihat jatuh tertiup angin sebagaimana cirikhas musim gugur itu sendiri. Ku amati aksi matahari yang semakin kuat. Rupanya ada harapan bahwa cahaya itulah yang menguatkan dedaunan itu sampai tidak mudah jatuh meski waktunya sudah lama tiba. Mungkinkah panasnya bumi mengawetkan ranting dedaunan agar tidak mudah patah?. Kata sahabatku, kalau ranting bersatu dan akrab dengan Matahari maka dia akan berbuah dan buanya berlimpah. Inilah kebijakan sang surya. Musim gugur yang tertunda tapi masih membentangkan harapan yang tak pernah sirnah. Segala sesuatu indah pada waktunya karena kasih Allah itu terus mengalir pada waktunya
Lama mata tak menatap, kini aku kembali ke daratan. Barang kali ada kesan bahwa aku tidur dan terus tidur, tapi sebenarnya bukan tertidur. Hanya saja banyak kata yang sempat tertukar antar aku dan mereka yang kebetulan bersua di jalan ini. Andaikan aku hanya memiliki satu orang diduniaku tentu aku memperhatikannya dengan penuh ramah dan teratur tapi karena aku adalah hanyalah salah seorang insan dari sekian banyak orang, terpaksa aku cendrung melalaikan yang satu, melululantakan yang lain. Kini aku hadir kembali sambil berjanji untuk memulai lagi coretan ini. Kalau suatu saat aku salah menata waktu sampai catatan ini tak teratur dan hilang dari peredaran, maafkan aku. Tapi jauh lebih baik kalau bukan sekedar memaafkan aku tetapi awasanmu membantu memperkaya maafmu. Salam jumpa lagi setelah tak bersua dalam jelang waktu yang begitu sangat lama.

segunda-feira, 21 de junho de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (11)

- III –

Di persimpangan waktu, di perempatan jalan

Perjalanan selanjutnya sejak aku berkenalan dengan KEKASIH hidup mulai berubah. Bukan gerak langkah yang berubah, tidak juga tutur kata yang membingungkan, tetapi motivasi yang bercorak lain. Aku sungguh seperti Tom Hanks, pelakon filemnya Robert Zemeckis “Cast Away-O Naufrago” yang setelah melewati pelbagai tantangan pasca jatuhnya pesawat yang ditumpanginya, dia kembali menemui keluarga yang pernah ditinggalkannya dan berakhir pada posisinya yang berada di persimpangan waktu dan di perempatan jalan. Bingung mau pilih jalan mana yang harus di tapaki. Namun perjuangan Tom Hanks adalah gambaran seorang petualang yang bertualang sambil menebar harapan akan kembalinya hidup dan opsi pada hidup. Motivasi aventurenya adalah juga dasar pijak pilihannku. Dalam keadaan bingung dan ditengah situasi yang tak menentu aku harus memilih sambil berharap akan kembalinya hidup dan kembali menikmati hidup. Maksudku bukan untuk menunjukan bahwa aku lemas, kaku tak berdaya dihadapan pilihan itu, akan tetapi ketakutan yang menggerogoti naluri petualanganku turut mewarnai langkahku. Aku sungguh tak mampu menikmati indahnya pelangi hidup. Kala itu adalah akhir Juni, pertangahan tahun 1996, waktu dalam mana aku menyelesaikan jenjang pendidikan Senior High school, kesempatan, dimana sahabat-sahabat seangkatanku sudah dengan yakin memutuskan ke mana mereka harus pergi Sementara aku?, aku diam membisu sambil menanti waktu bertutur.

Enam tahun aku membekasi dusun terpencil Kuwu, tempat dimana dinding colegio Sint Klaus berdiri tegak, dan setelahnya aku harus memilih. Ada tawaran dan pilihan yang harus aku putuskan, namun semuanya tinggal tawaran tanpa jawaban dan pilihan yang membingungkan. Masalahnya bukan mereka yang menawarkan, tetapi aku yang harus memberikan jawaban. Ciri khas kepribadianku masih terbawa. Bingung berada diantara dua pilihan dan enggan untuk menanggung resiko sebuah pilihan. Namun aku tidak berdiam diri, akan tetapi, mengambil sikap pasif yang produktif. Maksudnya ialah tidak membiarkan waktu berlalu tanpa makna tetapi aku diam sambil membiarkan harapan berjalan mencari waktu dan menata roda bumi.

Aku bingung. Pikiran ayah terbagi, dan semangat sang ibu berada di antara dua derita yang tak terkisahkan. Atau aku dan masa depanku, atau sang ayah yang lama berpikir untuk menentukan perjalananku selanjutnya. Keduanya memikirkan masa depanku, cemas akan berhentinya langkah yang sudah ku mulai, dan kwatir akan caraku yang cendrung bersikap pasif. Aku bersama kedua orang tuaku terus berlangkah dalam keheningan yang untuk saya, kunjung tak bertepi. Sempat mengalami “simple stress” di persimpangan waktu dan di perempatan jalan, namun sekali lagi aku tidak membiarkan diri dikuasi oleh sentimen jenaka, karena naluri seorang petualang terus mengontrol langkahku...(11)

terça-feira, 1 de junho de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (10)

...Pertemuan dan berkenalan secara pribadi dengan KEKASIH hidup

Dezember, 1990
Perjalanan sampai di penghujung tahun ’90 tidak mengalami tantangan yang begitu dasyat, hanya saja keraguan dan hidup penuh tanya, terus menghantui keseriusanku dalam bertapak. Aku terus berlangkah sampai tiba kembali waktu dalam mana aku pernah berdengung syair “Holly night” bersama ibuku. Dezember, 90 mengingatkan aku akan kisah natal yang pernah didongengkan oleh ayah di tahun 1984. Kali ini agak lain. Wajah Dezember berubah rupa. Satu hal yang masih tetap sama ialah bahwa kami tetap merayakan natal KEKASIH orang tuaku dalam kesederhanaan dan dibawa cahaya pelita yang berasap. Suasana tetap kidmat tetapi hati teriris tatkala ibu jatuh sakit yang cukup serius. Aku tak ingat lagi, penyakit apa yang dia deritai . Juga lupa bertanya bagaimana dia merasakan situasi saat itu. Dalam kelamnya waktu dan ditengah kesesakan hidup lantaran deritanya, aku beralih wajah dan beradu pandang dengan KEKASIH mereka.

Ku hidupi situasi itu dengan rasa penuh tanya, penuh keraguan, dan sekaligus pasrah, sambil menantikan apa yang bakal terjadi dengan bahtera. Aku tidak terlalu mengenal baik siapa sebenarnya KEKASIH mereka. Hanya mereka pernah menceritakan kalau Dia itu adalah Bapa yang baik, Putra yang berbelas kasih dan Roh yang yang menghidupkan. Ini memori awalku tentang Tuhan pemberi hidup!. Aku terus menghidupi gambaran Tuhan mereka seperti ini. Tetapi ketika kuhadapi situasi sulit seperti di akhir tahun ini, aku bertanya siapa Dia sebenarnya. Aku mulia bernalar, andaikan Dia adalah Tuhan yang baik, kenapa dia menyulitkan manusia?. Dalam keraguanku akan eksisnya Tuhan, kudengar, didoa ayahku, nama ibu yang lagi terbaring lemas disebut beberapa kali. Aku kagum dengan tingkah sang bapak di depan Tuhanya dan terpesona oleh iman akan Gurunya. Ku intip langkah ayah dalam kekelaman jiwa dan kusemati kebijaksanaanya dalam gersangnya hidup. Ia berpasrah dan terus percaya, sampai suatu ketika, saat orang tertidur pulas dan ketika bumi sedang bermimpi, sang ayah terjaga dari tidurnya. Kali ini, dia bangun bukan karena ibu merintih karena kegetiran fisik, bukan pula karena dia mau meratap dinginya alam, tetapi karena hasrat jiwa untuk mencari Tuhannya. Dengan lilin yang bernyala redup, didepan sebuah gambar wajah Bunda Penolong abadi, ayah mulai bersyair pasrah, menyerahkan derita sang ibu, sembari menanti rejeki yang datang dari uluruan tanga-Nya. Dalam kesederhanaan doannya, dia meletakan seluruh harapan kepada cinta sang Ilahi, menanti uluran kasih sang KEKASIH dan membiarakan ibu dijamah oleh tangan cinta. Mukjizat-pun terjadi. Uluran tangan Bapa menjamah jiwa yang merana, tetesan darah Putra membasahi nurani yang labil dan, hembusan Roh penghibur menyejukan hati yang tersayat. Aku tertegun menyasikan semuanya itu.. Peristiwa itu bukanlah mimpi di malam kelam, bukan juga angan yang dirakit oleh otak manusia, tetapi karya Bapa, perjuangan Putra dan Kasih Roh yang menghibur kami yang lagi merana. Aku kagum, sampai tak terasa malam terus berlaju.

Dari pengalaman rohani ini aku mau menyelami karya KEKASIH sang ayah. Hasratku ialah mengenal-Nya lebih dekat dan berbicara dengan-Nya dari hati ke hati. Aku masih terlalu muda dan sulit untuk bertutur dengan kata-kata di hadapan-Nya. Satu langkah yang saya ingat baik ialah duduk, diam dan mendengarkan sapaanya. Tak pernah terbayangkan kalau ketiga cara ini adalah juga doa. Aku terus merenungi peristiwa íman itu. Sebuah kesaksian cinta sang Bapa, Uluran tangan sang Putra dan Penghiburan Allah Roh Kudus terbukti dalam proses penyembuhan ibuku. Ini langkah awal perjuangan pertemuanku dengan sang KEKASIH hidup......(10)