segunda-feira, 21 de junho de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (11)

- III –

Di persimpangan waktu, di perempatan jalan

Perjalanan selanjutnya sejak aku berkenalan dengan KEKASIH hidup mulai berubah. Bukan gerak langkah yang berubah, tidak juga tutur kata yang membingungkan, tetapi motivasi yang bercorak lain. Aku sungguh seperti Tom Hanks, pelakon filemnya Robert Zemeckis “Cast Away-O Naufrago” yang setelah melewati pelbagai tantangan pasca jatuhnya pesawat yang ditumpanginya, dia kembali menemui keluarga yang pernah ditinggalkannya dan berakhir pada posisinya yang berada di persimpangan waktu dan di perempatan jalan. Bingung mau pilih jalan mana yang harus di tapaki. Namun perjuangan Tom Hanks adalah gambaran seorang petualang yang bertualang sambil menebar harapan akan kembalinya hidup dan opsi pada hidup. Motivasi aventurenya adalah juga dasar pijak pilihannku. Dalam keadaan bingung dan ditengah situasi yang tak menentu aku harus memilih sambil berharap akan kembalinya hidup dan kembali menikmati hidup. Maksudku bukan untuk menunjukan bahwa aku lemas, kaku tak berdaya dihadapan pilihan itu, akan tetapi ketakutan yang menggerogoti naluri petualanganku turut mewarnai langkahku. Aku sungguh tak mampu menikmati indahnya pelangi hidup. Kala itu adalah akhir Juni, pertangahan tahun 1996, waktu dalam mana aku menyelesaikan jenjang pendidikan Senior High school, kesempatan, dimana sahabat-sahabat seangkatanku sudah dengan yakin memutuskan ke mana mereka harus pergi Sementara aku?, aku diam membisu sambil menanti waktu bertutur.

Enam tahun aku membekasi dusun terpencil Kuwu, tempat dimana dinding colegio Sint Klaus berdiri tegak, dan setelahnya aku harus memilih. Ada tawaran dan pilihan yang harus aku putuskan, namun semuanya tinggal tawaran tanpa jawaban dan pilihan yang membingungkan. Masalahnya bukan mereka yang menawarkan, tetapi aku yang harus memberikan jawaban. Ciri khas kepribadianku masih terbawa. Bingung berada diantara dua pilihan dan enggan untuk menanggung resiko sebuah pilihan. Namun aku tidak berdiam diri, akan tetapi, mengambil sikap pasif yang produktif. Maksudnya ialah tidak membiarkan waktu berlalu tanpa makna tetapi aku diam sambil membiarkan harapan berjalan mencari waktu dan menata roda bumi.

Aku bingung. Pikiran ayah terbagi, dan semangat sang ibu berada di antara dua derita yang tak terkisahkan. Atau aku dan masa depanku, atau sang ayah yang lama berpikir untuk menentukan perjalananku selanjutnya. Keduanya memikirkan masa depanku, cemas akan berhentinya langkah yang sudah ku mulai, dan kwatir akan caraku yang cendrung bersikap pasif. Aku bersama kedua orang tuaku terus berlangkah dalam keheningan yang untuk saya, kunjung tak bertepi. Sempat mengalami “simple stress” di persimpangan waktu dan di perempatan jalan, namun sekali lagi aku tidak membiarkan diri dikuasi oleh sentimen jenaka, karena naluri seorang petualang terus mengontrol langkahku...(11)

terça-feira, 1 de junho de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (10)

...Pertemuan dan berkenalan secara pribadi dengan KEKASIH hidup

Dezember, 1990
Perjalanan sampai di penghujung tahun ’90 tidak mengalami tantangan yang begitu dasyat, hanya saja keraguan dan hidup penuh tanya, terus menghantui keseriusanku dalam bertapak. Aku terus berlangkah sampai tiba kembali waktu dalam mana aku pernah berdengung syair “Holly night” bersama ibuku. Dezember, 90 mengingatkan aku akan kisah natal yang pernah didongengkan oleh ayah di tahun 1984. Kali ini agak lain. Wajah Dezember berubah rupa. Satu hal yang masih tetap sama ialah bahwa kami tetap merayakan natal KEKASIH orang tuaku dalam kesederhanaan dan dibawa cahaya pelita yang berasap. Suasana tetap kidmat tetapi hati teriris tatkala ibu jatuh sakit yang cukup serius. Aku tak ingat lagi, penyakit apa yang dia deritai . Juga lupa bertanya bagaimana dia merasakan situasi saat itu. Dalam kelamnya waktu dan ditengah kesesakan hidup lantaran deritanya, aku beralih wajah dan beradu pandang dengan KEKASIH mereka.

Ku hidupi situasi itu dengan rasa penuh tanya, penuh keraguan, dan sekaligus pasrah, sambil menantikan apa yang bakal terjadi dengan bahtera. Aku tidak terlalu mengenal baik siapa sebenarnya KEKASIH mereka. Hanya mereka pernah menceritakan kalau Dia itu adalah Bapa yang baik, Putra yang berbelas kasih dan Roh yang yang menghidupkan. Ini memori awalku tentang Tuhan pemberi hidup!. Aku terus menghidupi gambaran Tuhan mereka seperti ini. Tetapi ketika kuhadapi situasi sulit seperti di akhir tahun ini, aku bertanya siapa Dia sebenarnya. Aku mulia bernalar, andaikan Dia adalah Tuhan yang baik, kenapa dia menyulitkan manusia?. Dalam keraguanku akan eksisnya Tuhan, kudengar, didoa ayahku, nama ibu yang lagi terbaring lemas disebut beberapa kali. Aku kagum dengan tingkah sang bapak di depan Tuhanya dan terpesona oleh iman akan Gurunya. Ku intip langkah ayah dalam kekelaman jiwa dan kusemati kebijaksanaanya dalam gersangnya hidup. Ia berpasrah dan terus percaya, sampai suatu ketika, saat orang tertidur pulas dan ketika bumi sedang bermimpi, sang ayah terjaga dari tidurnya. Kali ini, dia bangun bukan karena ibu merintih karena kegetiran fisik, bukan pula karena dia mau meratap dinginya alam, tetapi karena hasrat jiwa untuk mencari Tuhannya. Dengan lilin yang bernyala redup, didepan sebuah gambar wajah Bunda Penolong abadi, ayah mulai bersyair pasrah, menyerahkan derita sang ibu, sembari menanti rejeki yang datang dari uluruan tanga-Nya. Dalam kesederhanaan doannya, dia meletakan seluruh harapan kepada cinta sang Ilahi, menanti uluran kasih sang KEKASIH dan membiarakan ibu dijamah oleh tangan cinta. Mukjizat-pun terjadi. Uluran tangan Bapa menjamah jiwa yang merana, tetesan darah Putra membasahi nurani yang labil dan, hembusan Roh penghibur menyejukan hati yang tersayat. Aku tertegun menyasikan semuanya itu.. Peristiwa itu bukanlah mimpi di malam kelam, bukan juga angan yang dirakit oleh otak manusia, tetapi karya Bapa, perjuangan Putra dan Kasih Roh yang menghibur kami yang lagi merana. Aku kagum, sampai tak terasa malam terus berlaju.

Dari pengalaman rohani ini aku mau menyelami karya KEKASIH sang ayah. Hasratku ialah mengenal-Nya lebih dekat dan berbicara dengan-Nya dari hati ke hati. Aku masih terlalu muda dan sulit untuk bertutur dengan kata-kata di hadapan-Nya. Satu langkah yang saya ingat baik ialah duduk, diam dan mendengarkan sapaanya. Tak pernah terbayangkan kalau ketiga cara ini adalah juga doa. Aku terus merenungi peristiwa íman itu. Sebuah kesaksian cinta sang Bapa, Uluran tangan sang Putra dan Penghiburan Allah Roh Kudus terbukti dalam proses penyembuhan ibuku. Ini langkah awal perjuangan pertemuanku dengan sang KEKASIH hidup......(10)

quinta-feira, 27 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (9)

..........Kembali untuk pergi


Setiap waktu ada ujungnya dan setiap kesempatan ada batasnya. Ujung dan batasnya sebuah waktu dan kesempatan sebenarnya bukan kodrat mereka, tetapi karena alam dan manusialah yang memisahkan dan membedakannnya. Waktu yang diberikan kepadaku untuk menemukan jejak yang pernah hilang diantara kepingan waktu juga sudah berkahir. Aku harus kembali untuk terus bertualang, dan kembali untuk terus pergi mencari makna sebuah kehidupan yang sudah dimulai. Hari itu, Sabtu, 29 September, dalam siklus waktu yang masih sama, yang orang namakan 1990, aku melepaskan rangkuman orang tua dan tidak membiarkan diri dininabobokan oleh dekapan kasih seorang ibu. Maksudku bukan untuk tidak mau dicintai, malah sebaliknya, ingin aku mendirikan kemah dibalik dinding kasih mereka, karena betapa bahagianya berada ditempat itu bersama mereka. Akan tetapi, naluri seorang kembara terus berceloteh agar tidak membiarkan diri digenggam oleh hidup tanpa makna. Kasih dan cinta yang diterima sebenarnya bukanlah bumbu ideal untuk memaknai hidup, cetusku!, tetapi itu hanyalah spirit yang menguatkan seorang kembara untuk terus berlangkah. Dalam rentang waktu tiga hari berada bersama orang tua, hidupku disirami oleh dua bumbu desa ini, kasih dan cinta, dan itu sudah cukup, untuk saya memulai lagi petualangan dengan semangat yang baru.

Aku beralih langkah, dan pergi untuk kembali menempatkan kaki di lembah Kuwu. Siang itu, ketika bumi merintih lantaran panasnya matahari, aku beranjak pisah, sambil berniat untuk bertemu kembali dengan teman kembara yang kulepaskan selama tiga hari. Kali ini aku melepaskan jabat erat seorang ayah dengan hati yang tegar, dan menepis rangkulan kasih seorang ibu dengan kesadaran akan keharusanku untuk terus menata masa depan. Aku tiba dihari yang sama di kuwu. Kusaksikan kebahagian sahabat-sahabatku dan kunikmati gelak tawa masing-masing mereka. Aku sungguh menghidupi pengalaman bahagia mereka, karena aku juga meraih cinta yang sama dari orang tuaku. Di sela-sela kegembiraan itu, tentu ada kerinduan untuk kembali dan terus menetap ditengah keluarga. Saat itu, akupun memiliki kecendruangan untuk kembali sambil membangunkan tenda di balik dinding kasih orang tua, aku dikuatkan oleh keputuasan sang KEKASIH, Mestre dan Pendidik utama keluargaku, yang mana Dia, Jesus, tidak mengizinkan murid-muridnya untuk membangunkan tiga tenda saat mereka berbahagia berada bersama-Nya. Alasan-Nya ialah bukan karena Dia tidak suka tempat itu, gunung Tabor di mana mereka berada, bukan juga karena tidak suka dengan permintaan murid-murid-Nya, akan tetapi, karena Dia mau supaya murid-murid-Nya itu pergi, dan membagikan kebahagiaan mereka itu kepada orang yang berada dilembah Tabor.

Aku terbawa oleh kisah ini. Karena itu, aku berani pergi dan perlahan meninggalkan keingianku itu. Ku urung niat untuk membangun tenda bersama orang tua dan pergi sambil mengenakan kasut kusam untuk terus menjelajah mencari sudut bola bumi. Impianku yang irealistis. Aku terus berlangkah pada jalanku. Kali ini aku tidak bertualang sendirian, juga tidak merasa asing dengan alam dan sahabat, karena aku sudah mengenal beberapa lagi dari mereka. Ku jumpai lagi dua sahabat lamaku, Ansi dan Alfons. Bersama merekalah aku bebas bertutur, dan dengan merekalah aku terus berlangkah. Kami bersatu bukan dalam segala hal, tetapi kami hanya memadukan niat dan prinsip yang sama. Berjalan sambil menebar harapan, merajut masa depan sambil mengais kasih sang KEKASIH yang kami imani. Niatku untuk pergi dan terus pergi tidak pernah pudar oleh kelamnya waktu diakhir hari itu. Aku sungguh dikuatkan oleh kisah sang Guru-ku yang tidak membiarkan murid-muridnya membangun tenda di tempat dimana mereka merasa aman dan bahagia. Tantangan yang menarik untuk saya terus pergi menuju pencarian yang bermakna. ...(9)

segunda-feira, 24 de maio de 2010

Lagi-lagi tenggelam dalam kesibukan, sampai lupa untuk melanjutkan gagasan ini. Aku berjanji untuk kembali. Banyak kisah yang patut disharingkan dan ada kasih yang perlu dirasakan. semuanya akan ku bagikan kepadamu semua. Nantikan aku dengan sabar dan setia.

sexta-feira, 7 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (8)

.....Melepas kelelahan, menata strategi


Di ujung sebuah waktu, di hari yang sama aku tiba di pangkuan ibu kelahiranku, kampung sunyi, dusun yang tak gemerlap dan rumah yang jelata. Ku tapak kembali dia dengan wajah yang baru, dengan hati yang tetap sederhana dan dengan kerinduan yang tak bertepi. Aku membekasi kembali jejak yang pernah hilang diantara kepingan waktu. Sore itu, September, 26, aku terhanyut dalam kasih sang ibu dan terbawa oleh tawa bahagia sang bapa. Sungguh bahagia!. Ku terima salam hangat dari anggota rumah, ku sambut senyum bahagia dari sahabat tetangga dan ku gayung makna kehidupan dari ibu bumi. Ditengah rangkulan penuh kasih dan di balik jendela jiwa, naluriku sebagai petualang mengingatkan aku agar segera melepaskan diri dari rangkualan itu. Aku menuruti suara itu karena argumennya sangat sederhana, tetapi masuk di akal, yakni supaya aku tidak terbiasa dan tidak terbius dengan semuanya itu, karena seorang petualang harus menunjukan keperkasaannya. Setelah ku simak maksudnya ternyata ada jawaban yang sedang menanti. Katanya, keunggulan seorang kembara bukan terletak pada jumlah orang yang mengasihinya, tidak juga diukur dari berapa banyak rangkulan kasih yang diterima, tetapi tergantung pada kemampuan untuk mengasihi, memberi dan berada bersama dengan setiap mereka yang dijumpai dijalannya. Aku belum terlalu mengerti maksudnya karena usiaku masih dalam fase perkembangan yang mana manusia masih membutuhkan kasih sayang.

Taat terhadap suara itu dan setia mengikuti indikasi ilahi, aku perlahan melepaskan rangkulan itu dan mulai duduk sambil bercerita tentang perjalananku yang belum terlalu lama. Dengan rasa ingin tahunya yang sangat besar, ayah mulai bertanya tetang jalan yang sedang kutelusuri, tentang ruang dimana saya meletakan kepala, dan tentang waktu dimana saya bernafas. Sementara ibu, sambil menatap iba, dengan air mata kasih, mempertanyakan tingkahku dalam hubungan dengan makan dan gizi. Aku kurus dan bermuka pucat. Ingin kuceritakan semuanya tentang duka seorang petualang di lembah Kuwu, tapi aku malu pada diriku sendiri, tidak mau mencemaskan mereka, takut kepada alam dan setia menuruti bisikan nurani. Rasa iba bercampur curiga sang ibu berawal dari kesan lamanya tentang diriku yang lazim kurang akrab dengan setiap santapan dan kurang berminat dengan setiap hidangan. Aku tak mau bersaksi sebagaimana adanya karena aku masih mencintai jalan itu. Aku sendiri kurang ingat kenapa saat itu ingin kembali bertualang di tempat yang sama, pada hal medanya kurang menyenangkan. Satu hal yang masih segar dalam ingatanku bahwa tempat itu, Sint Klaus School, cukup favorit di wilayahku, indah alamnya, sunyi tempatnya dan berkualitas pendidikan kembaranya. Orang tuaku pun tak pernah izinkan aku untuk mengalih haluanku. Ada kecocokan antara niatku dan keinginan orang tuaku. Ingin aku ceritakan kegetiran perjalanan itu, tapi aku masih memiliki kebijaksanaan, sembari mencari makna dibalik duri dan mengintip pelangi dibalik awan.

Malam semakin larut dan aku pamit sambil mengucapkan “good night-Boa noíte”, kemudian pergi meletakan kepala diatas bantal yang ibu pernah berikan sebelum aku keluar dari rumah itu. Aku terlelap diatas kelembutan bantal tempat manusia meletakan kepala. Lembut bukan karena padatnya kapas yang mengisi kekosongan, tetapi karena dia disiap oleh tangah kasih dengan hati bening seorang ibu yang mencintai buah hatinya. Lama aku tak merasakan itu dan inginnya terus tidur sampai sinar redup kembali. Aku cendrung mengikuti kata hati, namun naluri seorang kembara terus mengontrol dan bertutur agar tidak membiarkan diri dikuasasi oleh keinginan daging. Malam berlalu dan mentari merekah lagi seolah-olah mau membangunkan anak manusia yang lelap tertidur. Sulit bagiku untuk mengikuti gaya hidup lama. Saat itu aku baru sadar kalau hidup itu berubah, kalau waktu dan ruang bisa mengubah tingkah, kalau perjalanan menguak tabir kehidupan, kalau aku berwajah lain dan kalau bumi bersaksi setia. Aku diam dan beristirahat secara fisik namun jiwaku terus bergetar dan naluriku terus berjalan sambil memulihkan tenaga yang terkuras dan menyusun strategi baru untuk perjalanan berikutnya. Strategi kali ini sangat sederhana yakni melepas kenyamanan dan pergi bermain api, menepis ego dan pergi merajut waktu. Liburan pertamaku itu sungguh mengesankan sekaligus menyenangkan. Ada kecendrungan untuk bertutur, ada kemauan untuk bercerita dan ada keinginan untuk tinggal dan terus menetap. Namun apakah aku harus mengikuti keinginan daging?. Maksud petualanganku ialah bukan untuk menyangkal kalau aku dan manusia lain adalah berdaging lemah, paling tidak ada semangat untuk berjuang melawan kelemahan daging dan membiarkan diri dituntun oleh Roh. ...(8)

STILLNESS OF HEART - PAZ NO CORAÇÃO


I'm out here on the street

(Estou aqui na rua)

-Saya berada di sini, di jalan

There's no one left to meet

(Não há niguém para encontrar)

-Tak ada seorangpun untuk bertemu

The things that were so sweet

(Aquilo que era tão doce)

- Yang manis itu

No longer move my feet

(Já não me faz mexer)

- Sudah tidak lagi membuat aku bergerak

But I keep trying

(Mas continuo a tentar)

- Tetapi saya terus mencoba

I keep on trying

(Continuo a tentar)

- dan terus mencoba


I've got more than I can eat

(Tenho mais do que posso comer)

- Aku mempunyai lebih dari apa yang saya bisa makan

A life that can't be beat

(Uma vida que não pode ser melhor)

- Sebuah kehidupan yang tidak bisa lebih baik

Yet still I feel this heat

(Mas sinto este calor)

- Tetapi saya merasakan panas ini

I'm feeling incomplete

(Sinto-me incomplete)

- Saya merasakan tidak sempurna

What am I buying?

(O que compro?)

- Apa yang saya beli?

My soul is crying

(A minha alma chora)

- Jiwaku menangis


All that I want

(Tudo o que quero)

- Semua yang ku inginkan

Is stillness of heart

(É paz no coração)

- Adalah kedamaian dalam hati

So I can start

(Para que posa começar)

- Supaya aku bisa memulai

To find my way

(a encontrar o meu caminho)

- Untuk menemukan jalanku

Out of the dark

(Longe desta escuridão)

- Jauh dari kegalapan ini

And into your heart

( E para dentro do coração)

- dan kedalam hatiku


Wher's the love?

(Onde está o amor?)

- Di manakah cinta?

What is this world we live in?

(Que mundo é este onde vivemos?)

- Dunia macam apakah tempat tinggal kita ini?

Wher's the love?

(Onde está o amor?)

-Di manakah kasih?

We've got to keep on giving

(Temos de continuar a dar)

-Kita harus terus memberi

Where's the love?

(Onde está o amor?)

- Dimanakah cinta?

What Happened to forgiving? anyone?

(O que aconteceu ao perdão? Alguém?)

- Apa yang terjadi dengan pengampunan? seseorang?


quinta-feira, 6 de maio de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (7)

......Pulang untuk kembali

September ‘90

September tiba pada waktunya dan datang pada musimnya. Harapan untuk kembali menapaki jejak yang lama ditinggalkan semakin membara. Aku hampir kehilangan naluri kesabaran, tat kala ku rasa waktu enggan bergulir dan hari sulit untuk berlangkah. Aku bertanya apakah sang waktu yang bermasalah dan hari yang tak mau beralih, ataukah memang karena aku yang tak tahu memaknai kehadiran mereka dalam hidup?. Saat merangkai penggalan pengalaman ini, aku teringat kata orang bijak yang setia menghargai waktu dan tekun menghayati hidup dengan pekerjaan. “Kalau kita mengisi waktu dengan pekerjaan dan pandai menghitung hari dengan kebajikan, pasti waktu terasa singkat dan hari terasa pendek”. Aku terus menanti hari dan menunggu waktu yang berahmat itu.

Belahan waktu, yang orang namakan 26 September sudah mendekat. Aku dan sahabat-sahabatku sudah mulai tertawa ria karena tak lama lagi kami harus menapakai kembali tapak kami masing-masing yang lama ditinggalkan dan hampir pudar. Waktu berahmat yang sebenarnya bagi anak-anak yang sedang ‘menyusu’ pada ibu Sint Klaus School ialah 25 September, karena dia merayakan pesta pelindungnya, Santu Klaus, Orang kudus Allah, model kesucian manusia, darah kelahiran Swiss, pertapa yang menghabiskan masa tuanya di lembah pegungungan di negri benua putih itu. Namun, fokus perhatianku waktu itu bukan Manusia model kesucian itu, bukan juga KEKASIH sumber kekukudusan sejati, tetapi kerinduan untuk pulang membekasi tapak yang hampir beranjak, dan merangkul kembali mereka, bapak dan ibu, pendidik iman, harap dan kasih. Aku pulang bukan untuk menetap, pulang bukan karena putus asa, tetapi pulang untuk menyusun kembali langkah yang kaku sambil menata strategi baru untuk bisa memulai lagi petualangan dengan kaki, tenaga dan keringatku sendiri.

Hari yang dinantikan sudah tiba. Hari itu, Rabu 26 September, ketika matahari mulai merekah dan alam, yang sebagaimana lazimnya menyajikan kesegaran dengan angin sepoi basah yang datang dari arah gunung “Golo Lusa”, aku bergegas mencari jejak yang pernah kutinggalkan. Aku tidak pulang begitu saja tanpa pamit, tetapi kudapatkan sahabat-sahabatku yang telah kujaring dalam rentang waktu kurang lebih tiga bulan. Banyak wajah yang membekas dan sahabat yang menata hidupku pada bulan-bulan pertama. Yang masih segar dalam ingatanku dan yang membekas dalam nubariku sampai aku menulis kisah ini ialah mereka yang namanya Frans Firman yang dulu biasa ku sapa Ansi dan Alfons Jehadut. Keduanya sudah lama kehilangan jejak dari pelupuk indraku. Dua nama dan wajah yang berbeda ini adalah mereka yang ku kenal sejak pekan pertama dimana aku memulai merajut sejarah baru di lembah Kuwu. Saya sendiripun tidak ingat persis bagaimana kisah pertemuan kami pada hari-hari pertama. Tetapi yang masih segar dalam ingatanku ialah sahabat yang kupanggil Ansi itu adalah teman sekelasku selama empat tahun, dan Alfons, yang meski dikelas berbeda tetapi aku mengenalnya karena kami datang dari arah yang sama. Sejauh ingatanku, kedua sahabat ini adalah mereka yang mempunyai prinsip hidup yang hampir sama dengan aku. Selama enam tahun kami mengukir sejarah yang sama dalam dekapan Santu pelindung sekolah, Santu Klaus, model kesucian manusia. Sebelum aku beranjak, aku mendapatkan kedua sahabatku ini sekedar untuk melepaskan kata pisah sambil berucap “Adeus, see you again”....(7)