quinta-feira, 22 de abril de 2010

MEMORI SEBUAH MISTERI PETUALANGAN (1)


Dezember, 1984

Minggu, hari pertama dalam pekan, tahun 1984, aku menuruti ajakan ayahku untuk menemaninya menulusuri hutan belantara yang mengelilingi tempat kelahiranku. Tujuan kami ialah mencari ranting kering, mengumpulkan dedaunan yang jatuh karena angin, dan membawanya pulang untuk dijadikan sarana buat ibuku yang lagi cemas dan gelisah karena ketiadaan bahan yang mengubah beras menjadi nasi. Pencarian kami waktu itu tidak terlalu sulit karena zaman itu, hutan adalah tempat dimana berbagai jenis kayu bertumbuh segar dan medan dimana kami menghabiskan masa kecil. Kami sunggu menguasai tempat itu. Aku baru berumur tujuh tahun namun sudah mulai merasakan getirnya sebuah perjuang dan pahitnya merajut waktu. Aku capeh dan tampaknya ayahku juga demikian. Saya meminta dia untuk beristirahat sejenak sambil duduk diatas sebatang pohon yang tumbang karena angin. Sambil bersantai ria dan ketika lelah mulai pudar dari tubuhku aku meminta ayahku untuk bercerita tentang hidup. Maklum! aku masih terlalu kecil untuk mengertinya.

Dalam kelelahannya, dan sambil mengusap keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, sang ayah mulai bercerita tentang hidupnya dimasa silam bersama orang tuanya. Sambil mengarahkan pandangannya kepadaku dengan air mata yang membasahi wajahnya, mengingat saat-saat indah bersama mereka, bapak bertutur kalau orang tuanya dahulu adalah pengasih, penuh cinta, pekerja keras dan ramah dengan siapa saja yang bertualang dijalan mereka. Kisah yang sama pernah kudengar dari ema tu’a dan ema koe-ku (sapaan dalam bahasa Manggarai untuk kakak dan adik dari ayah). Ketika bapak menceritakan sejarah hidup yang dirajut bersama orang tuanya, terbersit sebuah kebijaksanaan hidup seorang anak manusia yang pandai bersyukur atas cinta yang pernah diterima dan kemampuan memaafkan atas ketidaksempurnaan cinta yang pernah dinikmati.

Waktu sudah berujung dan matahari hampir kembali ke peraduannya. Aku mengingatkan ayahku kalau matahari sudah hampir tenggelam. Enggan kelihatannya sang ayah melepaskan memori indah bersama orang tuanya. Kami bergegas pulang sambil membawa beban diatas pundak, masing-masing dengan sebuah ikatan kayu dengan ukuran yang berbeda. Ibuku sudah lama menantikan kehadiran kami. Kali ini, hati seorang ibu sebagaimana hakekatnya luntur terbawa emosi karena penantian yang tak berujung. Dia cemas. Gelisah bukan saja karena kami tiba sebelum waktu tetapi lebih dari itu cemas karena dia tidak bisa melayani santap malam pada waktunya.

Aku bernafas diantara dua figur yang membahagiakan, bertapak diantara dua jiwa yang bertautan, ayah yang sedikit meditatif dan ibu yang tegas tanpa kekurangan kata-kata saat berbagi kata dengan sesama dan Tuhannya. Matahari sudah sangat tenggelam dan malam sudah membungkus anak manusia. Kami; saya, kakaku yang sulung dan adik perempuanku sudah sangat lelah. Alam menuntut tubuh untuk segera beradu karena besok harus pergi belajar mengenal sang Pencipta, menghitung hari-hari dalam hidup, dan mengukur bumi yang tak berujung. Impian ayah dan ibu untuk anak-anaknya saat itu nihil. Mereka selalu pesimis dengan masa depan kami. Ayah yang sangat diam tampaknya pasrah. Disamping karena ketidakmampuannya untuk meraih sekarung harta juga karena kesehatannya yang labil. Aku tidak tahu apakah itu masalah psikis atau masalah fisiknya. Dia hanya mampu menghidupkan impiannya saat itu dengan cara ber-ada-nya. Dia selalu menemani kami dalam belajar mengenal Pencipta, Sang pemberi waktu. Kesetiaanya tidak pernah luntur untuk menemani kami dalam belajar mengenal besarnya bola bumi dan ketulusannya untuk menata masa depan kami tak pernah dicoret oleh kelamnya kondisi fisik. Dia selalu menunjukan dia apa adanya sambil berpasrah pada “GURU”-nya. Belajar dan berjalan, belajar untuk berjalan dan berjalan sambil belajar adalah kiat utama yang ditanamkan sang ayah dan ibu dalam petualanganku.
Ku tutup hari itu dengan “Sembah-yang” kuasa. Hal itu ku buat bukan karena kemauanku sendiri tapi atas mandat sang ayah dan ibu. Mereka meretas jalan kami menuju Tuhan mereka. Pencarian akan Sang Khalik dalam usiaku yang sangat dini dimulai ketika keluargaku berujar “Oremos-Let’s pray” disaat sinar bercahaya merekah dan dikala senja menutup selubung suci sang bumi. Sejak saat itu aku mengenal Tuhannya sang bapak dan ibu dan aku bersyukur karena aku dituntun untuk ke jalan itu.

Aku terus berjalan dalam terang “Dia” yang orang tuaku perkenalkan ketika aku berumur setahun jagung dalam hidup. Itulah dasar pijakanku dan cahaya itulah yang terus menyemangatiku untuk selalu meretas jalan baru yang asing dan penuh liku. Cahaya itu sungguh dasyat dan terlampau kuat sampai suatu waktu, ketika aku berada di tebing waktu, aku mampu memutuskan untuk terus melangkah maju atau terpaksa berhenti dan perlahan mundur....(I)

segunda-feira, 29 de março de 2010


Waktu berganti, cuaca berubah. Diawal pekan suci hujan mengguyur di kota kecilku. Aku tak membiarkan diri basah kuyup. Aku menyelip disalah satu toko super antik yang terkadang aku membekasi pintu rumahnya. Pemilik dagangan semakin akrab saja dengan saya. Ditengah-tengah perbincanganku dengan si pedagang super simpatik itu, terdengar suara sang lelaki tua, berjenggot putih menyapa saya dengan penuh hormat: "Senhor Padre! como está - Pater! apa khabar?. Aku kaget karena aku tidak mengenalnya. Dengan rasa penuh heran saya menyapanya kembali seolah-olah aku mengenalnya lama. Ku tanya dalam hati siapa dia ini. Aku tahu kalau kaum adam di kotaku itu tidak biasa masuk gereja dan saya cukup yakin kalau dia itu tidak pernha ku temukan dalam gereja. Aku terus bertanya, kenapa dia mengenal aku?. Mungikin karena aku satu-satunya orang asing di kotaku ini. tanya retorisku kembali bergumam di nubariku. Setelah perbincangan kami berakhir, aku beralih langkah dari kios itu dan pergi menuju rumahku. Tanpa ada unsur kesengajaan saya menemukan jurnal misi kecil yang ada diatas meja diruang tamu. Ku buka setiap halaman dan ku temukan disana sebuah artikel yang yang berjudul "Cara bermisi ditengah kaum "kafir" di zaman Edan". Ku telusuri paragraf demi paragraf dan di sana kutemukan jawaban dari pristiwa pertemuanku dengan lelaki tua itu. Memberi kesaksian akan kehadiran Allah ditengah kaum "kafir" tidak selamanya lewat kata dan kotbah, tapi cukup dengan cara kita berada sambil mengucapkan "selamat pagi/selamat siang/ dan selamat malam untuk siapa saja yang kita jumpai di jalan kita. "TAMPIL BEDA" terkadang membawa makna yang positif.

sábado, 27 de março de 2010

Malam menepis senja dingin awal musim semi. Aku tertegun dengan perputaran waktu yang begitu cepat. Tak terasa aku hampir beralih ke April, bulan dimana bunga di pinggir jalan mulai berceloteh. Ternyata musim bunga tiba, musim semi menepi dinginya alam. Langkahku hari ini, di akhir pekan, akhir bulan Maret sedikit lelah tatkalah pelayanan menguak hati yg terbagi dan misiku mengukir jiwa yang teriris. Aku bahagia. Dalam kesunyian padang yg dihiasi bunga primavera aku bersyukur karena Yesus memanggilku dari kesederhanaan dan kerapuhanku Dia membawa aku ke negri nan jauh ini. Oh....syairku! ku senandungkan untuk-Mu Bapa. Siapa aku sehingga Engkau menunjukan tangan-Mu kepadaku. Ini tetesan refleksiku disamping jembatan yang menghubungkan Almodôvar dan Semblana. Di negri ini dan di tanah Lusitana, tepatnya utara Portugal aku membekasi bumi, meski bukan dengan telapak kaki yg telanjang namun aku tetap merasakan kehadiran Dikau yg mengetuk kelopak mata hatiku. Roda mobilku bergerak cepat tatkala dia lagi mengejar waktu yang tertinggal. Aku semakin tertegun dengan Bapa yang memanggilku. Lama kau tak merasakah sentuhan ini. Dia terus menatapku, mengukir namaku di atas garis yang bengkok secara berkesinambungan, membenahi diriku tanpa menghiraukan tanda STOP dan Dia terus dan terus bersama aku. Betapa indahnya hariku ini.

sexta-feira, 26 de março de 2010


Bila kaki enggan untuk berlangkah, beristirahatlah sebentar dibawah naungan ketapang, tetapi jangan biarkan diri tertidur, jangan sampai mimpi menguasaimu, sebab dia terkadang menguras konsentrasi dan waktumu untuk terus berlangkah. Bila lidah enggan untuk menyapa dan berkata, ulaskan senyummu! biar mereka yang nyasar dijalanmu merasa disapa. Hati yang gundah berubah rupa ketika berhadapan dengan keramahan yang tak ternodai oleh kelamnya dendam. Andaiakan engkau adalah Dia yang hadir dijalanku biarkan aku menemukan-Nya dikedalaman hatimu tetapi jikau engkau adalah kamu yang adalah sama seperti aku, ijinkan kita untuk saling menyapa tulus penuh persahabatan. Sebab di dalam kamu aku menemukan diriku dan ku yakin aku juga layak untuk kamu bisa menemukan dirimu sendiri. Siapa aku dan kamu sehingga kita saling menyapa??. Tautan rasa bimbang dan percaya diri menggambarkan kita yang lagi ziarah ini adalah insan yang sedang mencari makna hidup. Saya cukup yakin kalau arti hidupku dan hidupmu dapat digapai kalau kita berjalan bersama dengan tulus dan saling percaya antar satu dengan yang lain.Aku terbangun dari mimpiku. Tak terasa senja menyelimuti aku lagi. Bumi dan langit menyapaku dengan hembusan angin sepoi basah di senja berkelabu. Hatiku tergoda untuk berlangkah mundur karena sang Matahari mau beristirahat sejenak. Malam mengajak aku untuk mencari hati yang tak ada naungan. Di tepi jalan sebuah lorong vila tempat aku meletakan kepala, kutemukan sekeping jejak manusia malam yang tak ada naungan. Aku mau mengajak kamu untuk bersama aku memberi kehangatan kepada mereka. Apa lah daya, cetusku, kita sama-sama tak mepunyai rumah untuk menghangatkan mereka. Kendati demikian aku tetap insyaf bahwa kita memiliki dinding kecil buat menyandarkan kepalanya. Meski agak keras, tapi cukuplah untuk untuk memperkuat sandarannya dibumi ini. Ku ingin kamu seperti aku tapi aku sadar bahwa tak ada manusia yang sama dibumi ini. Aku, kamu dan mereka adalah kita yang adalah hasil dari tangan yang sama. Di pelupuk mata dia yang kutemukan malam itu, kutemukan air mata Ilahi yang mengharuskan aku untuk mengusap air matanya dan memolesnya dengan wangian kasih. sayang seribu sayang, terkadang aku lupa membawa wangian dalam perjalanannku. Kalau kamu berjalan bersama aku pasti cukup untuk mengingatkan aku untuk membawanya atau kalau tidak kamu juga bisa mengisi dalam keranjang jalanannmu. Tetapi itu bukan yang terpenting. Yang terpenting ialah kepedulian kita untuk menghapus air matanya, menghangatkan badannya dengan rangkulan kasih dan menepi kesedihannya dengan kebersamaan yang tak mengenal kata pisah.Itulah makna kebersamaan, berjalan sambil menepis debu di kaki sang kembara yang enggan berlangkah, bersatu sambil mengaku kelebihan orang lain dan bertitah sambil menebar bahasa cinta yang merangkul banyak orang. Tetapi aku mau supaya kita tidak tenggelam dalam kebersamaan itu, karena kita bukan orang yang tak punya pandangan. aku dan kamu adalah orang yang Sang Khalik tunjuk untuk meretas jalan damai, menebar kasih dan menyiram benih Ilahi ke tempat di mana kita belum pernah tapakai. Ada orang-orang yang dekat dengan Dia yang mendahului kita. mereka adalah yang berbahagia dan kudus. Kekudusannya bukan karena tampang wajah yang tak ternoda tetapi karena kelemasan jiwanya untuk mencintai orang tanpa pamrih. Nah sekarang aku dan kamu dituntut untuk berlangkah seperti mereka, berjalan tanpa peduli kerikil tajam yang menusuk tapak tilasku. Derita karena duri dan kerikil dalam ziara ini tak ada bandingnya dengan luka, darah dan air mata dari Kekasihku yang mencintai dan memanggil aku dan kamu untuk mengikutinya. Dialah Al-maseh yang menghendaki untuk berjalan dijalannya. Masih ragu untuk menjawabnya?? itu bukan perkara-Nya tetapi masalah kamu dan aku dengan diri kita sendiri. Bertapak sambil menoreh bathin itulah yang tepenting dalam proses permunian diri...
Di jendela kamarku hinggap kupu-kupu yang beruntung. Terdengar nyanyian merpati dari rumah tetangga rumahku. Hening, bisu, terdengar suara Juma'at sengsara hari ini Maret, 26. Aku bergegas menatap Cristo tersalib tanpa palang kayu. Ku tanya, dimana salibnya? aku menoleh ke samping kananku, salib jatuh tepat di kakiku dan hampir terinjak. Sedih bercampur terharu aku menatapnya. Ku angkat dan kuletakan dengan perasaan cemas diatas bantal tidurku. Tiba-tiba kupu-kupu datang dan hinggap di kepalaku. wah....cetusku. siapa engkau? tanyaku!. Dia yg beruntung itu pergi dan menghilang dari bola mataku. Ku cari dan terus ku cari, tapi sayang dia sudah terbang semakin jauh. Aku tidak sedih karena kepergiannya tapi hatiku terus bertanya siapa dia yang datang di pagi hari saat peristiwa itu terjadi?. Pencarianku tak'an berakhir sampai ku temui dia sekali lagi. Niatku!

quarta-feira, 24 de março de 2010


Aku datang kembali setelah sekian waktu menghilang dari dunia ini. Di ujung masa tobat ku sapa kamu dan mereka yg juga hilang dari daratan ini. Aku berjanji untuk menatar kembali bait-bait singkat, merajut kembali kata-kata sederhana dan menuturkan kisah-kisah hidup harianku. Kiranya berguna untukmu yang hendak berceloteh di Jendelaku ini.

terça-feira, 15 de setembro de 2009


Lama sudah aku tak mampir. Kerinduan untuk berbagi kisah tak terbendung. Bukannya aku terlelap dalam tidur, hanya karena aku sibuk menyapa mereka yang melintasi jalanku. Aku tak terantuk karena kata-kata mereka, malah terbangun berjaga bersama bumi dan langit merangkul dalam pelukan kasih setiap insan yang nyasar dijalanku. Ku tatap mereka satu per satu dengan mata DIA yang menciptakan aku dan dalam pelupuk mereka aku menemukan bayangan Cinta Bapa. Sang Khalik yang hadir dalam mereka mengharuskan aku untuk menyapa mereka dengan hati, menghormati mereka dengan jiwa dan merangkul mereka dalam keheningan kalbu. Bersama mereka aku berjalan menuju titik yang sama. Kamu adalah juga salah satu dari mereka. Terima kasih untukmu yang setia menanti aku. Dalam ketidaktahuanmu kapan aku datang, kamu tetap bersenyum ria menyambut aku sebagaimana apa adanya. Salam hangat untukmu kawan dan terima jabat eratku.